Opini
Otak Atik Kuasa Kepala Desa
Agenda ini pertama kali tercetus atas tuntutan yang dilakukan oleh berbagai kepala desa di Indonesia dengan melakukan demonstrasi di depan gedung DPR
Kalimat dengan nada intimidasi yaitu akan dihabisinya basis dukungan suara di wilayah desa mereka bagi partai yang tidak pro terhadap tuntutan kepala desa.
Berangkat dari tuntutan tersebut ada bentuk kekhawatiran bagi parpol kehilangan basis suara yang cukup besar di wilayah setiap Desa.
Hal ini tentu akan menyulitkan memobilsasi suara yang secara signifikan untuk setiap partai politik.
Akibatnya, berbagai tuntutan Kepala Desa yang disetujui oleh DPR menjadi langkah yang cukup politis ketimbang menjadi urgensi demi kebaikan desa.
Momentum tahun politik ini sekaligus menjadi langkah transaksional yang cukup menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Kepala desa akan terus berkuasa dengan memanfaatkan kekuasaannya dari kebijakan perpanjangan masa jabatan, di sisi lain partai politik berharap Kepala Desa mampu memobilisasi masyarakat untuk mendukungannya.
Praktik ini menunjukan bahwa partai politik sedang membangun hubungan klaintilisme dengan kepala desa, karena ada hubungan yang saling menguntungkan bagi satu sama lain menuju pemilu 2024.
Potensi penyelewangan di tingkat desa pun cukup rentan. Justru akan meningkatkan tindakan korupsi yang begitu masif.
Tindakan korupsi terjadi dari pola klaintilistik yang diciptakan yaitu hubungan yang saling menguntunkan, sehingga hal ini bisa dilihat dari pola supply and demand kepala desa dan kepentingan parpol di pemilu 2024.
Perpanjangan masa jabatan kepala desa bukan menjadi urgensi bagi masyarakat desa pada saat ini. Kebutuhan ini harus patut dipertanyakan.
Sejauh mana pembangunan di Desa bisa menciptakan kemajuan dan kesejahteraan. Sejauh mana kemiskinan bisa berkurang di wilayah Desa.
Sejauhmana masyarakat desa bisa diberdayakan secara konsisten dalam program kerja yang memberi harapan hidupnya.
Tarik menarik akan kepentingan sarat terlihat menuju tahun politik di 2024.
Tuntutan masa perpanjangan Kepala Desa bukan jawaban untuk membenahi segala dinamika di Desa yang terjadi.
Rentanya konflik berkepanjangan, sulitnya membangun rekonsiliasi pasca pilkades dan tidak cukupnya melaksanakan program pembangunan di desa dianggap sebagai urgensi untuk memperpanjang masa jabatan.
Akan tetapi, langkah ini tidak cukup logis dan relevan jika dipakai sebagai alasan utama untuk memperpanjang masa jabatan.
Jika ini terjadi maka akan semakin melanggengkan oligarki lokal.
Di sisi lain bagi partai politik tuntutan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi siasat untuk lelang suara di pemilu.
Kondisi ini menciptakan preseden buruk bagi etika pejabat publik dalam memanipulasi segala cara demi mencapai kepentingan.
Selain itu, hal ini menunjukan bahwa tidak ada kepantingan masyarakat yang diperjuangkan akan tetapi baik kepala desa maupun parpol bersama-sama mendayung kepada tujuan yang sama yaitu kepentingan politis akan kekuasaan.
Perpanjangan masa jabatan kepala desa secara tegas mengangkangi konstitusi dalam negara hukum yang mengkehendaki pembatasan kekuasaan.
Jika hal ini terealiasasi maka akan menjadi sinyal bahaya di masa mendatang dengan membuka kran perpanjangan masa jabatan baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.
Pada akhirnya, ironi bagi kita saat ini saat pejabat publik dan tokoh politik mengingkari marwah demokrasi.
Demokrasi dibajak dan dibunuh secara sadar oleh kepentingan para elite yang memiliki syahwat memperpanjang kekuasaan menuju absolut.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.