Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Otak Atik Kuasa Kepala Desa

Agenda ini pertama kali tercetus atas tuntutan yang dilakukan oleh berbagai kepala desa di Indonesia dengan melakukan demonstrasi di depan gedung DPR

Editor: Sudirman
Ist
Hamzah Jamaludin SIP MSos, Peneliti Temu Political Research 

Hamzah Jamaludin SIP MSos

Peneliti Temu Political Research

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Sebuah kutipan dari Lord Acton politisi asal Inggris pada abad 19 untuk memaknai karut-marut kekuasaan di Indonesia saat ini yang rentan terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan.

Perpanjangan masa kepemimpinan kepala desa kembali mencuat belakang ini.

Agenda ini pertama kali tercetus atas tuntutan yang dilakukan oleh berbagai kepala desa di Indonesia dengan melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI.

Tuntutan ini demi merealisasikan perpanjangan jabatan kepala desa yang semula 6 tahun dapat dipilih dua kali berturut berubah menjadi 9 tahun dan dapat dipilih dua kali berturut-turut.

Tuntutan ini mendapatkan respon positif dari Pemerintah dan DPR.

Beberapa hari lalu misalnya Badan Legislasi DPR secara serempak bersepakat untuk merevisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Klaim yang dikatakan sebagian Kepala Desa masa kepemimpinan 6 tahun tidak cukup untuk melaksanakan segala kegiatan dan pembangunan di wilayah desanya.

Selain itu, argumen polarisasi konflik pasca pemilihan di tingkat desa menimbulkan dinamika yang cukup pelik, dibutuhkan waktu rekonsiliasi yang cukup lama, sehingga hal ini berdampak terhadap kestabilan kepemimpinanya.

Terdapat 7 fraksi yang setuju merevisi UU Desa tersebut. Di antaranya PDIP, PAN, PKS, PPP, PKB, Gerinda dan Golkar.

Sementara itu, partai politik seperti Nasdem dan Demokrat sampai saat ini belum menyatakan sikap.

Menuju konstestasi pemilu yang tinggal menghitung beberapa bulan lagi, langkah ini dianggap sebagai proses transaksional yang dibangun demi mendapatkan simpati dan empati demi suara di musim pemilihan.

Agenda perpanjangan masa jabatan kepala Desa dan bertambahnya alokasi dana desa menjadi sinyal yang patut dikawal bersama-sama.

Selain praktiknya yang rentan terjadi penyelewengan alokasi dana desa, bertambahnya masa jabatan kepala desa mengukuhkan penguatan raja-raja kecil di Desa.

Kondisi ini menjadi proses transaksional yang dilakukan parpol terhadap Kepala Desa menjadi sinyal yang cukup bahaya bagi demokrasi di wilayah desa.

Dinasti Raja-raja kecil di Desa

Kondisi desa saat ini masih dilingkupi oleh berbagai persoalan yang cukup pelik.

Situasi ini akan cukup terlihat manakala tata kelola keuangan yang buruk hingga berdampak terhadap praktik penyelewengan kekuasaan.

Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan di wilayah desa pun jauh dari kata optimal.

Kegagalan tata kelola yang dilakukan di wilayah desa bisa bersumber dari  pengelolaan alokasi dana desa yang tidak cukup signifikan, sehingga program-program yang terencana pun hanya bersifat seremonial.

Desa hanya disesaki kepentingan individual, jauh dari kata kemaslahatan bersama.

Jika melihatkan konteks hari ini kepala desa menjadi raja-raja kecil yang berkuasa secara absolut.

Demokrasi membatasi kekuasan agar rentan terhadap penyelewengan kekuasan, sehingga memberi kesempatan kepada yang lain untuk memimpin.

Agenda perpanjangan masa jabatan kepala desa bukan hanya menjadi urgensi untuk kepentingan kemajuan desa, cara ini dilihat sebagai syahwat politik mempertahankan kekuasaan.

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukan adanya bentuk kekhawatiran terkait pengelolaan dana desa.

Hasil temuan ICW menunjukan bahwa korupsi di tingkat desa secara konsisten menempati urutan pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak tahun 2015-2021.

Dalam sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.

Sementara itu, data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukan bahwa sampai pada tahun 2022 terdapat 686 perangkat desa yang terjerat korupsi (Kompas, 30 Januari 2023).

Kekhawatiran ini akan terus berlanjut manakala tuntutan kenaikan dana desa setujui. Alokasi dana desa ini bertujuan untuk membangun dana desa lebih berkembang.

Akan tetapi, tingginya alokasi dana desa justru akan semakin rentan penyelewengan.

Selama sistem pengawasan dan pertanggungjawaban lemah dana  rentan dimanipulasi oleh kepentingan pribadi pejabat desa.

Perpanjangan masa jabatan kepala desa hanya akan menguntungkan elite lokal desa.

Selain itu, cara ini sebagai mempertahankan kepentingan oligarki lokal untuk terus berupaya berkuasa.

Perpanjangan masa jabatan desa hanya memperburuk citra demokrasi desa.

Terhentinya proses seleksi dan sirkulasi kepemimpinan.

Selain itu, perpanjangan kepala desa akan menganeliasi demokrasi di tingkat desa.

Menghilangkan regenerasi dan memunculkan figur pemimpin yang mempunyai kapasitas mumpuni.

Tidak ada alasan yang cukup fundamental untuk menambah masa jabatan kepala desa.

Apalagi urgensi yang dipegang oleh sebagian kepala desa ialah mencegah konflik berlarut pasca pemilihan.

Sebab, potensi konflik akan semakin berlarut dan berkelindan ketika masa jabatan kepala desa semakin lama.

Berburu Suara

Perpanjangan masa jabatan kepala desa adalah langkah politik transaksional menuju pemilu 2024.

Konteks ini bisa kita baca manakala ada bentuk ancaman yang dilontarkan oleh sebagian kepala desa ketika melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR.

Kalimat dengan nada intimidasi yaitu akan dihabisinya basis dukungan suara di wilayah desa mereka bagi partai yang tidak pro terhadap tuntutan kepala desa.

Berangkat dari tuntutan tersebut ada bentuk kekhawatiran bagi parpol kehilangan basis suara yang cukup besar di wilayah setiap Desa.

Hal ini tentu akan menyulitkan memobilsasi suara yang secara signifikan untuk setiap partai politik.

Akibatnya, berbagai tuntutan Kepala Desa yang disetujui oleh DPR menjadi langkah yang cukup politis ketimbang menjadi urgensi demi kebaikan desa.

Momentum tahun politik ini sekaligus menjadi langkah transaksional yang cukup menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Kepala desa akan terus berkuasa dengan memanfaatkan kekuasaannya dari kebijakan perpanjangan masa jabatan, di sisi lain partai politik berharap Kepala Desa mampu memobilisasi masyarakat untuk mendukungannya.

Praktik ini menunjukan bahwa partai politik sedang membangun hubungan klaintilisme dengan kepala desa, karena ada hubungan yang saling menguntungkan bagi satu sama lain menuju pemilu 2024.

Potensi penyelewangan di tingkat desa pun cukup rentan. Justru akan meningkatkan tindakan korupsi yang begitu masif.

Tindakan korupsi terjadi dari pola klaintilistik yang diciptakan yaitu hubungan yang saling menguntunkan, sehingga hal ini bisa dilihat dari pola supply and demand kepala desa dan kepentingan parpol di pemilu 2024.

Perpanjangan masa jabatan kepala desa bukan menjadi urgensi bagi masyarakat desa pada saat ini. Kebutuhan ini harus patut dipertanyakan.

Sejauh mana pembangunan di Desa bisa menciptakan kemajuan dan kesejahteraan. Sejauh mana kemiskinan bisa berkurang di wilayah Desa.

Sejauhmana masyarakat desa bisa diberdayakan secara konsisten dalam program kerja yang memberi harapan hidupnya.

Tarik menarik akan kepentingan sarat terlihat menuju tahun politik di 2024.

Tuntutan masa perpanjangan Kepala Desa bukan jawaban untuk membenahi segala dinamika di Desa yang terjadi.

Rentanya konflik berkepanjangan, sulitnya membangun rekonsiliasi pasca pilkades dan tidak cukupnya melaksanakan program pembangunan di desa dianggap sebagai urgensi untuk memperpanjang masa jabatan.

Akan tetapi, langkah ini tidak cukup logis dan relevan jika dipakai sebagai alasan utama untuk memperpanjang masa jabatan.

Jika ini terjadi maka akan semakin melanggengkan oligarki lokal.

Di sisi lain bagi partai politik tuntutan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa menjadi siasat untuk lelang suara di pemilu.

Kondisi ini menciptakan preseden buruk bagi etika pejabat publik dalam memanipulasi segala cara demi mencapai kepentingan.

Selain itu, hal ini menunjukan bahwa tidak ada kepantingan masyarakat yang diperjuangkan akan tetapi baik kepala desa maupun parpol bersama-sama mendayung kepada tujuan yang sama yaitu kepentingan politis akan kekuasaan.

Perpanjangan masa jabatan kepala desa secara tegas mengangkangi konstitusi dalam negara hukum yang mengkehendaki pembatasan kekuasaan.

Jika hal ini terealiasasi maka akan menjadi sinyal bahaya di masa mendatang dengan membuka kran perpanjangan masa jabatan baik itu di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.

Pada akhirnya, ironi bagi kita saat ini saat pejabat publik dan tokoh politik mengingkari marwah demokrasi.

Demokrasi dibajak dan dibunuh secara sadar oleh kepentingan para elite yang memiliki syahwat memperpanjang kekuasaan menuju absolut.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved