Opini
Bahaya Laten Perundungan
Di Pesisir Barat, Lampung, seorang siswa SMP menusuk temannya dengan gunting hingga tewas.
Bahaya Laten Perundungan
Oleh: M. Yunasri Ridhoh Dosen Pendidikan Pancasila UNM
BEBERAPA bulan terakhir, kabar tentang kekerasan di lingkungan pendidikan datang silih berganti.
Seorang santri di Kuta Baroh, Aceh Besar, membakar pesantrennya sendiri setelah berulang kali menjadi korban perundungan.
Di Jakarta, seorang siswa SMAN 72 merakit bom dan meledakkannya di sekolah.
Di Pesisir Barat, Lampung, seorang siswa SMP menusuk temannya dengan gunting hingga tewas.
Pelaku dan korban sama-sama masih berusia 13 tahun.
Peristiwa lain, di bulan Oktober 2025 tiga remaja memilih mengakhiri hidup mereka.
Salahsatunya di Sukabumi, dimana seorang siswi 14 tahun bunuh diri setelah mengalami kekerasan verbal dari teman-temannya.
Dua kasus lainnya terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat.
Di balik setiap peristiwa-peristiwa di atas, ada kisah panjang tentang ejekan, pengucilan, dan penghinaan yang tidak pernah terekam dalam berita, statistik dan laporan resmi. Mengendap, lalu meluap menjadi frustasi dan kemarahan.
Peristiwa di atas, hanya sebagian kecil dari fenomena gunung es perundungan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, sepanjang 2025, sedikitnya 25 anak di Indonesia bunuh diri akibat tekanan sosial dan kekerasan di lingkungan sekolah.
Statistik itu tampak kecil bila dilihat sebagai angka, tetapi besar jika kita melihatnya sebagai manusia, dimana satu nyawa yang hilang, sebetulnya sudah terlalu banyak.
Perundungan selalu membunuh. Ia membunuh mental, menghancurkan potensi, merenggut masa depan, bahkan bisa membunuh nyawa, baik korban maupun pelaku.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/M-Yunasri-Ridhoh-Dosen-Pendidikan-Pancasila-UNM-p.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.