Opini
Ditjen Pesantren: Antara Rekognisi dan Risiko Birokratisasi
Selama puluhan tahun, posisi pesantren dalam sistem hukum nasional seperti “anak tiri”.
Ringkasan Berita:
- Pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren bertujuan memberikan rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi terhadap pesantren.
- Kehadiran Ditjen Pesantren membawa potensi masalah, seperti terseret dalam logika administratif, perubahan relasi menjadi transaksional akibat penyaluran dana, dan tumpang tindih kebijakan lintas kementerian.
- Keberhasilan Ditjen Pesantren bergantung pada keterlibatan kiai, pengasuh, dan asosiasi pesantren dalam perencanaan hingga evaluasi kebijakan.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Di sebuah pesantren kecil di pinggiran Sulawesi Selatan, seorang kiai sepuh pernah berujar, “Pesantren itu tidak butuh diurus negara. Tapi negara perlu belajar dari pesantren.”
Kalimat sederhana itu kini terasa relevan di tengah kabar pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di bawah Kementerian Agama.
Langkah pemerintah ini, bagi sebagian kalangan, dianggap sebagai tonggak sejarah untuk pertama kalinya pesantren memiliki direktorat jenderal sendiri setara dengan madrasah, haji, dan pendidikan Islam lainnya.
Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa negara mulai menancapkan kuku birokrasi ke dalam ruang spiritual dan sosial yang selama ini tumbuh mandiri di luar kendali kekuasaan.
Pertanyaan yang mengemuka, apakah Ditjen Pesantren ini benar-benar bentuk pengakuan (rekognisi) terhadap kemandirian pesantren, atau justru pintu masuk bagi proses birokratisasi dan politisasi lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara ini?
Selama puluhan tahun, posisi pesantren dalam sistem hukum nasional seperti “anak tiri”.
Ia tidak sepenuhnya di bawah sistem pendidikan formal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), tetapi juga tak diakui secara otonom.
Banyak pesantren berjalan dengan dana mandiri, kurikulum sendiri, dan legitimasi sosial yang datang dari masyarakat, bukan dari negara.
Barulah pada Tahun 2019, lahirlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren (UU Pesantren) sebuah tonggak penting dalam sejarah politik hukum pendidikan Islam di Indonesia.
UU ini menegaskan tiga fungsi utama pesantren yakni pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Ketiga fungsi itu menunjukkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan agama, tetapi juga pusat transformasi sosial dan ekonomi.
Namun, pengakuan hukum tidak otomatis mengubah kenyataan struktural. Banyak pesantren masih menghadapi ketimpangan akses terhadap sumber daya, pendanaan, dan kebijakan negara.

 
			
 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
				
			 
											 
											 
											 
											 
			
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.