Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ditjen Pesantren: Antara Rekognisi dan Risiko Birokratisasi

Selama puluhan tahun, posisi pesantren dalam sistem hukum nasional seperti “anak tiri”.

Editor: Sudirman
 Rusdianto Sudirman/Tribun Timur
PENULIS OPINI -  Rusdianto Sudirman. Ia mengirim fotonya ke tribun-timur.cm untuk melengkapi opini berjudul 'Diskresi Gus Yaqut Dalam Isu Kuota Haji'. Ia merupakan Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 

Agar Ditjen Pesantren tidak terjebak dalam jebakan birokrasi, pemerintah perlu membangun tata kelola partisipatif.

Artinya, kiai, pengasuh, dan asosiasi pesantren harus dilibatkan sejak tahap perencanaan kebijakan hingga evaluasi program.

Pesantren bukan sekadar objek kebijakan, tapi subjek yang ikut menentukan arah pembangunan pendidikan Islam.

Selain itu, kebijakan harus bersifat desentralistik dan kontekstual. Pesantren di Madura tak sama dengan pesantren modern di Bandung atau pesantren perempuan di Lombok.

Karakter dan kebutuhan mereka berbeda. Karena itu, kebijakan harus fleksibel, tidak seragam, dan mampu menghormati keragaman lokal.

Negara juga perlu mendorong penguatan tata kelola pesantren melalui pelatihan manajemen keuangan, pengelolaan wakaf produktif, serta digitalisasi administrasi. Dengan begitu, pesantren tetap otonom namun tetap akuntabel di hadapan publik.

Sejarah mencatat, pesantren adalah salah satu lembaga tertua yang membentuk wajah Islam Indonesia yang inklusif, toleran, dan berakar kuat pada budaya lokal.

Dari rahim pesantren lahir para ulama, pejuang kemerdekaan, hingga pemimpin moral bangsa.

Karena itu, kehadiran Ditjen Pesantren semestinya menjadi momentum rekognisi, bukan alat kontrol baru.

Negara boleh hadir, tetapi tidak mendominasi. Negara boleh membantu, tetapi tidak mengekang.

Jika Ditjen Pesantren mampu menjadi jembatan antara nilai-nilai tradisi dan kebutuhan modernitas tanpa menghilangkan roh kemandirian, maka ini bisa menjadi tonggak baru sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Tapi jika ia berubah menjadi sekadar “Direktorat urusan administrasi pesantren,” maka langkah ini hanya akan menambah panjang daftar reorganisasi birokrasi tanpa makna substantif.

Pesantren telah berabad-abad hidup tanpa “payung birokrasi,” dan justru karena itu ia bertahan.

Negara kini datang bukan untuk mengatur, melainkan mengakui. Tantangannya adalah menjaga agar rekognisi itu tidak berubah menjadi domestikasi.

Dalam konteks itu, pembentukan Ditjen Pesantren hanyalah awal. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa negara belajar menghormati ruang spiritual yang lahir dari masyarakat, bukan menundukkannya dalam sistem administratif. 

Sebab, seperti kata kiai sepuh tadi, “Pesantren itu tidak butuh diurus negara. Tapi negara yang butuh belajar dari pesantren.”

Sumber: Tribun Timur
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved