Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ditjen Pesantren: Antara Rekognisi dan Risiko Birokratisasi

Selama puluhan tahun, posisi pesantren dalam sistem hukum nasional seperti “anak tiri”.

Editor: Sudirman
 Rusdianto Sudirman/Tribun Timur
PENULIS OPINI -  Rusdianto Sudirman. Ia mengirim fotonya ke tribun-timur.cm untuk melengkapi opini berjudul 'Diskresi Gus Yaqut Dalam Isu Kuota Haji'. Ia merupakan Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 

Karena itu, pembentukan Ditjen Pesantren dapat dibaca sebagai langkah lanjutan untuk menerjemahkan mandat UU tersebut dalam bentuk kelembagaan negara.

Dari perspektif hukum tata negara, kebijakan pembentukan Ditjen Pesantren seharusnya berangkat dari tiga pendekatan yaitu rekognisi, afirmasi, dan fasilitasi.

Pertama, rekognisi berarti negara mengakui eksistensi pesantren apa adanya bukan menciptakannya. Negara datang untuk menghormati, bukan mengatur-atur.

Kedua, afirmasi berarti negara memberi perlakuan khusus untuk memperbaiki ketimpangan historis.

Pesantren selama ini hidup dari swadaya masyarakat kini saatnya negara memberi dukungan yang proporsional, misalnya dalam bentuk pendanaan, pelatihan tenaga pendidik, dan pemberdayaan ekonomi berbasis santri.

Ketiga, fasilitasi berarti negara membantu tanpa mengintervensi.

Pemerintah boleh mendorong penguatan kapasitas kelembagaan, tapi tidak boleh mengatur isi kurikulum, tradisi keilmuan, atau hubungan kiai-santri yang menjadi jantung pesantren.

Dalam semangat UU Pesantren, negara wajib menghormati kemandirian pesantren sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (2): “Pemerintah menghormati kekhasan dan kemandirian pesantren dalam penyelenggaraan pendidikan.”

Namun, optimisme itu tak boleh membuat kita buta terhadap potensi masalah.

Pertama, risiko birokratisasi. Dengan terbentuknya Ditjen, pesantren berisiko terseret dalam logika administratif seperti laporan, format, dan indikator.

Jika standar teknokratis terlalu dominan, ruh keikhlasan dan kemandirian dua nilai yang melekat pada tradisi pesantren bisa terkikis.

Kedua, potensi politisasi anggaran. Ketika Ditjen menjadi pintu resmi penyaluran dana, relasi pesantren dan kekuasaan bisa berubah menjadi transaksional.

Dalam situasi politik yang makin pragmatis, bantuan pemerintah bisa bertransformasi menjadi alat pembentuk loyalitas politik.

Ketiga, tumpang tindih kebijakan. Fungsi pesantren bersinggungan dengan banyak kementerian seperti Pendidikan, Ketenagakerjaan, hingga Desa. Tanpa koordinasi yang baik, kebijakan bisa saling bertabrakan.

Misalnya, lulusan pesantren yang punya kompetensi keagamaan atau kewirausahaan sering kali tidak diakui secara formal dalam sistem ketenagakerjaan nasional.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved