Opini
Melindungi atau Mengabaikan Hak Anak? Dilema Hukum dan Psikologis Saat Anak Sasaran di Dunia Digital
Isu ini membuka ruang diskusi penting tentang batas antara perlindungan dan eksposur berlebihan terhadap anak dalam era digital.
Bahkan dalam konteks media sosial, Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 Undang-Undang ITE dapat diterapkan terhadap pelaku penghinaan yang mengarah pada perundungan.
Namun dalam Pasal 17 dan 19 UU Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa anak memiliki hak atas privasi dan perlindungan dari segala bentuk publikasi yang dapat merugikannya.
Termasuk publikasi wajah, nama, atau kasus yang membuatnya menjadi pusat perhatian negatif.
Ketika pembelaan berubah menjadi viral, dan nama anak terus berulang dan terpublish di berbagai kanal media tanpa kendali, potensi pelanggaran terhadap hak privasi anak pun tak bisa diabaikan.
Solusinya bukan membiarkan anak dirundung, melainkan menempuh pembelaan secara proporsional.
Pelaporan ke KPAI, sebagai langkah hukum terhadap akun pelaku, bahkan somasi bisa dilakukan, namun dengan mengedepankan perlindungan terhadap identitas dan kondisi psikis anak.
Kita semua berharap, negara melalui lembaga seperti KPAI bahkan legislative sebagai wakil rakyat, juga harus aktif memberi panduan bagaimana mekanisme pelaporan atau penyelesaian kasus yang melibatkan anak bisa dilakukan secara tertutup, tanpa menambah eksposur yang menyakitkan.
Perlindungan sejati bukan yang paling keras terdengar, melainkan yang paling bijak dampaknya, baik secara hukum, etika, maupun kemanusiaan.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.