Opini
Membangun Generasi Pencipta di Era Automasi
Laporan World Economic Forum memperkirakan bahwa akan ada 85 juta pekerjaan yang akan tergantikan mesin sampai pada akhir 2025 ini.
Ringkasan Berita:Indonesia 2045 dihadapkan pada dua kemungkinan besar: menjadi bangsa pencipta teknologi atau tetap menjadi konsumen teknologi impor.Agar Indonesia mampu berdiri sejajar dengan negara maju di tahun 2045, sistem pendidikan harus berubah total.Membangun masa depan Indonesia bukan sekadar menciptakan teknologi, tetapi menumbuhkan budaya kebanggaan sebagai bangsa pencipta.
Oleh: Baizul Zaman, S.Kom., M.T
Mahasiswa Program Doktor Teknik Elektro Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - BAYANGKAN masa depan Indonesia di tahun 2045.
Di usia satu abad kemerdekaannya, apakah kita masih akan menjadi bangsa yang bergantung pada teknologi impor? Atau justru kita telah menjadi rumah bagi para pencipta teknologi yang disegani dunia?
Pertanyaan ini tentu bukanlah sekadar retorika belaka. Jika kita melihat realitas yang ada saat ini, di tengah gegap gempita bonus demografi, kita justru seolah terjebak dalam mentalitas kolonial baru.
Dimana kita hanya puas menjadi penyedia pasar dan sumber daya alam, sementara nilai tambah teknologi dikuasai oleh bangsa lainnya. Sehingga tanpa sadar, kita sedang berdiri di tepi jurang revolusi industri 4.0.
Sebetulnya kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Apalagi dengan hadirnya teknologi kecerdasan buatan dan otomatisasi yang tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tetapi sedang mengikis habis fondasi ekonomi tradisional yang ada.
Laporan World Economic Forum memperkirakan bahwa akan ada 85 juta pekerjaan yang akan tergantikan mesin sampai pada akhir 2025 ini.
Sementara itu, 97 juta pekerjaan baru akan muncul dan sebagian besar di bidang teknologi. Sementara itu, disisi lain respons kita sebagai bangsa masih terbelenggu pola pikir using.
Yakni, mencetak generasi yang siap “bersaing” dengan mesin.
Jika kita mau jujur, sebenarnya ini adalah sebuah paradigma keliru yang harus kita luruskan segera.
Daripada mempersiapkan pemuda menjadi pekerja di antara mesin-mesin cerdas, mengapa tidak kita bentuk mereka menjadi pencipta dan pengendali teknologi itu sendiri?
Kita harus berani bercita-cita lebih besar. Bukan sekadar mencetak tenaga kerja yang siap dipekerjakan, tetapi menciptakan entrepreneur teknologi yang membuka lapangan kerja baru.
Untuk melakukan itu semua tentu saja bukanlah hal yang mudah. Mengingat sistem pendidikan kita masih seperti pabrik era industry.
Seragam, menekankan hafalan, dan mematikan kreativitas. Belum tampak ada perbaikan yang nyata.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.