Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Melindungi atau Mengabaikan Hak Anak? Dilema Hukum dan Psikologis Saat Anak Sasaran di Dunia Digital

Isu ini membuka ruang diskusi penting tentang batas antara perlindungan dan eksposur berlebihan terhadap anak dalam era digital.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Sakka Pati Dosen Fakultas Hukum Unhas 

Oleh: Sakka Pati

Dosen Fakultas Hukum Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - LANGKAH Ahmad Dhani yang melaporkan dugaan perundungan terhadap anaknya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengundang reaksi beragam dari publik.

Sebagian memuji keberaniannya memberi efek jera kepada netizen, sebagian lagi mempertanyakan: apakah tindakan tersebut justru akan berdampak negatif pada psikologis
anaknya sendiri?

Isu ini membuka ruang diskusi penting tentang batas antara perlindungan dan eksposur berlebihan terhadap anak dalam era digital.

Terutama jika kasus ini viral dan menjadi konsumsi publik secara terus-menerus.

Di berbagai media sosial, Ahmad Dhani beranggapan bahwa anaknya telah menjadi korban komentar tak pantas dari netizen.

Secara khusus seorang pemilik akun media sosial bernama Lita Gading seorang psikolog, menanggapi dan berkomentar, antara lain; “Dalam sebuah video di Instagram, dia mengingatkan bahwa video kompilasi yang dibuat Ahmad Dhani justru dapat ‘menambah luka lebih dalam untuk Safeea’.

Ia menegaskan menghadirkan kembali masa lalu melalui unggahan tersebut bisa menanam trauma baru pada anak, dan menyarankan agar sebagai orang tua, Dhani dan Mulan memilih perlindungan emosional.

Bukan eksposur publik yang terus dilegitimasi” di media lain Lita Gading mengunggah video interaksi bersama El Rumi, Dul Jaelani, dan Tissa Biani, memuji kedewasaan sikap dan perhatian mereka terhadap kesehatan mental.

Ia menulis: ‘Ini contoh anak milenial yang keren, openminded, dan punya good attitude,’ serta menegaskan interaksinya tersebut memberi edukasi, bukan mengejek siapapun.”

Namun bagi Ahmad Dhani, banyaknya komentar netizen yang menyebut secara langsung maupun tidak langsung anak-anaknya dari Mulan Jamila dikategorikannya sebagai perundungan atau kekerasan psikologis terhadap anak, sehingga menjadi dasar untuk melapor ke Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI).

Dalam perspektif penulis, viralitas bukanlah perlindungan. Meskipun niat Ahmad Dhani sebagai orang tua adalah membela, bisa jadi eksposur berlebihan akan membuat anak-anaknya terpapar trauma dan kebingungan yang belum mengerti dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi.

Perspektif Hukum; antara Hak Anak vs Hak Orang Tua

Secara hukum, tindakan Ahmad Dhani sah. Berdasarkan Pasal 76C Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa setiap orang
dilarang melakukan kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan psikis.

Bahkan dalam konteks media sosial, Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 Undang-Undang ITE dapat diterapkan terhadap pelaku penghinaan yang mengarah pada perundungan.

Namun dalam Pasal 17 dan 19 UU Perlindungan Anak juga menegaskan bahwa anak memiliki hak atas privasi dan perlindungan dari segala bentuk publikasi yang dapat merugikannya.

Termasuk publikasi wajah, nama, atau kasus yang membuatnya menjadi pusat perhatian negatif.

Ketika pembelaan berubah menjadi viral, dan nama anak terus berulang dan terpublish di berbagai kanal media tanpa kendali, potensi pelanggaran terhadap hak privasi anak pun tak bisa diabaikan.

Solusinya bukan membiarkan anak dirundung, melainkan menempuh pembelaan secara proporsional.

Pelaporan ke KPAI, sebagai langkah hukum terhadap akun pelaku, bahkan somasi bisa dilakukan, namun dengan mengedepankan perlindungan terhadap identitas dan kondisi psikis anak.

Kita semua berharap, negara melalui lembaga seperti KPAI bahkan legislative sebagai wakil rakyat, juga harus aktif memberi panduan bagaimana mekanisme pelaporan atau penyelesaian kasus yang melibatkan anak bisa dilakukan secara tertutup, tanpa menambah eksposur yang menyakitkan.

Perlindungan sejati bukan yang paling keras terdengar, melainkan yang paling bijak dampaknya, baik secara hukum, etika, maupun kemanusiaan.(*)

 

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved