Klakson
ASN dan Pilkada
Tahun 1971, terbitlah Keppres RI tentang Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri)—organisasi yang mewadahi seluruh pegawai negeri
Tentu saja tak masuk akal bila alasan pelanggaran netralitas itu lantaran tak faham ketentuan. Sebab mereka adalah ASN berpangkat. Bukan ASN kelas sendal jepit.
Mengapa setiap pilkada ada saja oknum ASN yang menodai netralitasnya? Perburuan jabatan struktural barangkali pemicunya.
Bila paslon kandidat yang didukung memenangkan pilkakda, maka berpotensi mereka menduduki jabatan mentereng di struktural pemerintahan. Hal lain adalah, barangkali berdasarkan perintah atasan.
Itupun dijalankan tentu dengan sejumlah kesepakatan-kesepakatan atau janji jabatan.
Tapi ada subuah kisah kreatif yang sedikit bengis. Disebuah daerah kecamatan di kabupaten Wajo, seorang lurah mengaku bila dirinya senantiasa menjaga netralitasnya sebagi ASN. Saya lantas kagum dengan pengakuannya.
Lalu, ia melanjutkan kisahnya. Ia berkata bahwa beberapa ASN memang bersikap seperti dirinya—netral dalam setiap pilkada.
Namun, beberapa istri-istri ASN rupanya melakukan kerja politik untuk memenangkan salah satu paslon kandidat kepala daerah—tanpa perintah suami. Para istri ASN itu bergerak dilapangan untuk memenangkan salah satu paslon.
Bila menang, mereka berharap suami-suami mereka ditempatkan pada posisi penting dalam struktur pemerintahan daerah.
Fenomena-fenomena diatas menunjukkan bahwa ASN memang begitu seksi dalam setiap perhelatan pilkada. Mereka diorganisir dan mengorganisir diri untuk target-target jabatan struktural.
Tetapi, kita tentu berharap pilkada kali ini terminimilasasi fenomena pelanggaran netralitas ASN. Sebab, praktik itu bukan saja melanggar hukum, tetapi juga merendahkan pilkada sebagai proses demokrasi yang harus dihargai dan dihormati bersama.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.