Klakson
Ustadz 'Bekku'
Dan kita optimis, kepribadian, akhlak dan tindakan pelayanan sang ustadz pada ummat harus tetap menjadi teladan.
Warga lalu terinspirasi mencontohnya, meneladaninya dengan mengutus putra-putrinya belajar agama di pondok-pondok pesantren.
Impiannya, kelak sang anak tumbuh bersosok “ustadz”. Dan kini, negeri ini surplus “ustadz” walau BPS luput mencatat populasinya.
Dan kita optimis, kepribadian, akhlak dan tindakan pelayanan sang ustadz pada ummat harus tetap menjadi teladan.
Aspek keteladanan inilah sebenarnya yang menjadi tantangan berat para ustadz, bagaimana mereka mengamalkan dalam laku hari-harinya segala ucapannya ditengah ummat.
Tersebutlah sebuah kisah, yakni kisah tentang seorang ustadz dai yang kondang hingga kecamatan sebelah.
Ia seorang alumni Sekolah Tinggi Agama Islam. Ilmu agamanya memang tak sedalam yang diidealkan.
Tetapi ia punya keterampilan berceramah dan khutbah yang tak tertandingi. Ketika diatas mimbar, ummat terpukau dengan ceramah-ceramahnya yang menggugah, mendidik, hingga melucu.
Ummat yang menyimak ceramahnya, larut dalam irama keseriusan dan kejenakaan. Maka ummat tak bosan-bosan mendengarkannya.
Apalagi, ceramahnya teduh. Tak pernah sekalipun ia mengahrdik kaum lain dalam ceramahnya. Ia tak pernah mengkafirkan kaum lain. Ia ceramah tanpa kesan kebencian pada yang lain.
Diluar bulan ramadhan, jadwal khutbah Jum’at full setiap bulan. Bila bulan puasa, ia tak pernah puasa ceramah. Pengurus masjid di dua kecamatan memperebutkannya.
Dengan kendaraan roda duanya, ia berkeliling dari masjid ke masjid berceramah. Dan ia lakukan itu dengan penuh keikhlasan, tanpa mengharap banyak amplop tebal.
Mungkin dengan itulah, berkah selalu menghampirinya. Hidupnya tak pernah krisis. Tiga orang anaknya, menempuh pendidikan sebagaimana anak kebanyakan. Bahkan, si sulung sementara menimba ilmu di perguruan tinggi.
Sang ustadz punya hoby tersendiri. Ia penyayang burung. Di teras rumah kayunya, bergelantungan beberapa ekor burung perkutut (dalam bahasa bugis, disebut “bekku”).
Ia rawat burung perkutut itu dengan penuh kasih sayang. Setiap pagi, sepulang sholat subuh di masjid, ia beri makan burung-burung perkututnya.
Usai duhur dan jelang magrib, ia hampiri lagi perkututnya. Wajar saja bila anak-istrinya menyapanya dengan guyon “ustadz bekku”.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.