Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Negara, Pengusaha, dan Ruang di Luar Pasar

Obligasi yang katanya bukan sekadar utang, melainkan bentuk cinta tanah air versi baru — dengan kupon 2 persen, jauh di bawah suku bunga pasar.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Abdullah Sanusi Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas 

Oleh: Abdullah Sanusi

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Suatu pagi, di ruang rapat yang dingin dan berlampu putih, sekelompok pejabat dan pengusaha besar berkumpul membicarakan sebuah istilah yang terdengar gagah: Patriot Bonds.

Obligasi yang katanya bukan sekadar utang, melainkan bentuk cinta tanah air versi baru — dengan kupon 2 persen, jauh di bawah suku bunga pasar.

Di atas kertas, inilah inovasi pembiayaan pembangunan. Tapi di bawah permukaannya, Patriot Bonds adalah kisah klasik tentang bagaimana negara dan dunia usaha menegosiasikan kepentingan — bukan di pasar, melainkan di ruang yang lebih halus: ruang kekuasaan, reputasi, dan legitimasi.

Selama ini kita terbiasa memandang strategi bisnis sebagai urusan harga, produk, dan kompetisi.

Tapi ada lapisan lain yang jauh lebih menentukan: strategi di luar pasar — non-market strategy. Ia adalah kemampuan membaca politik, mengelola opini publik, membangun aliansi dengan pemerintah, dan memahami cara kekuasaan bekerja.

Melalui Patriot Bonds, pemerintah Indonesia seolah sedang memainkan strategi ini dalam skala besar.

Bukan hanya mengundang investor membeli surat utang, tapi mengajak pengusaha besar “ikut serta” dalam proyek nasional, dengan imbal hasil yang kecil tapi kehormatan yang besar.

Ada daya pikat reputasi di sana, juga sedikit tekanan moral yang tidak diucapkan: kalau kamu benar-benar cinta negeri ini, buktikan lewat dompetmu.

Satu pejabat bahkan menyebutnya “love letter for Indonesia’s future”. Kalimat itu puitis — dan politis. Karena surat cinta yang terlalu sentimental kadang membuat orang lupa membaca klausul di bawahnya.

Dari Wall Street sampai Tokyo

Bukan hanya Indonesia yang pernah memadukan nasionalisme dan keuangan. Setelah serangan 11 September, Amerika Serikat menerbitkan Patriot Bonds versi mereka — obligasi tabungan nasional yang hasilnya digunakan membiayai perang melawan teror. Kuponnya kecil, tapi pesannya kuat: beli obligasi ini bukan untuk kaya, tapi untuk negara.

Di Jepang, pemerintah berkali-kali mengeluarkan obligasi publik dengan semangat serupa. Warga membeli bukan karena imbal hasil, tapi karena percaya uang mereka akan kembali dalam bentuk infrastruktur, kota yang pulih, atau rasa aman setelah bencana. Dalam masyarakat dengan kepercayaan institusional tinggi, narasi seperti ini bisa berhasil.

Masalahnya, di Indonesia, rasa percaya itu masih rapuh. Kita punya sejarah panjang di mana nasionalisme sering dijadikan bungkus bagi proyek yang tak jelas manfaatnya.

Ketika kata “patriotik” muncul dalam dokumen finansial, sebagian publik spontan curiga: ini ajakan berkorban, atau ujian loyalitas?

Ketika Nasionalisme Jadi Mata Uang

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved