Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ketika Amran Melawan Tempo: Dua Sisi dari Cermin Demokrasi

Peristiwa ini bukan sekadar kasus hukum, tetapi ujian moral bagi demokrasi: sejauh mana bangsa ini mampu menyeimbangkan hak atas reputasi.

|
Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Dahrul Dosen STIEM Bongaya Makassar, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Wija La Patau Matanna Tikka (PERWIRA–LPMT) 

Dalam beberapa kasus sebelumnya — seperti sengketa antara pejabat daerah dan Metro TV atau antara individu publik dan harian nasional — penyelesaiannya berhenti di Dewan Pers. 

Namun, keputusan Dewan Pers selama ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, hanya bersifat etik dan rekomendatif.

Inilah celah hukum yang dimanfaatkan sebagian pihak untuk melangkah ke pengadilan.

Kasus Amran menegaskan pentingnya memperkuat posisi Dewan Pers agar hasil mediasi memiliki daya paksa, sehingga tidak menimbulkan “perpanjangan konflik” melalui jalur perdata.

Jika mekanisme etik tidak cukup kuat, maka pers akan menghadapi dua medan sekaligus: ruang moral di Dewan Pers dan ruang hukum di pengadilan.

Dua arena ini bisa saling tumpang tindih dan justru memperkeruh upaya menjaga keseimbangan antara kebebasan dan akuntabilitas.

Kasus ini menunjukkan betapa tajamnya kekuatan bahasa dalam jurnalisme. Satu kata dapat mengubah tafsir publik dan menentukan arah opini.

Kata “busuk” pada tajuk Tempo menjadi simbol tarik-menarik antara keberanian mengkritik dan kecermatan menyampaikan fakta.

Dalam ekosistem media digital saat ini, redaksi bekerja di bawah tekanan klik, trending, dan algoritma.

Judul sensasional lebih cepat menarik pembaca dibanding laporan yang tenang dan faktual. Akibatnya, prinsip “akurat, berimbang, dan bertanggung jawab” sering tergeser oleh “cepat, viral, dan menggigit.”

Pakar komunikasi menyebut fenomena ini sebagai krisis tanggung jawab algoritmik: ketika logika ekonomi media daring mengorbankan etika jurnalistik.

Dalam konteks ini, gugatan Amran bisa dibaca sebagai reaksi terhadap ketidakseimbangan baru dalam jurnalisme era digital — bukan sekadar kemarahan pejabat terhadap kritik.

Andi Amran menghadapi dilema klasik: diam berarti menerima pencemaran, melawan berarti dianggap anti-kritik. Ia memilih melawan bukan untuk membungkam, melainkan untuk menuntut proporsionalitas.

Tempo pun berada pada posisi sulit: mempertahankan kebebasan memberitakan sambil memastikan tidak melampaui batas etik.

Kedua pihak sejatinya sama-sama berperan penting dalam demokrasi.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved