Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Komisi Reformasi Polri: Antara Harapan dan Bayangan Masa Lalu

Namun, harapan publik terhadap komisi baru ini segera diiringi kegelisahan ketika komposisi anggotanya diumumkan.

Editor: Sudirman
Rusdianto Sudirman/Tribun Timur
PENULIS OPINI - Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare  

Ringkasan Berita:Presiden Prabowo Subianto membentuk Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian di tengah menurunnya kepercayaan publik terhadap Polri
Namun, komisi ini menuai kritik karena diisi pejabat aktif dan mantan Kapolri yang dinilai memiliki konflik kepentingan. Banyak pihak menilai, tanpa independensi dan partisipasi masyarakat sipil, reformasi Polri berisiko menjadi proyek simbolik. 
Penulis menegaskan bahwa keberhasilan komisi hanya mungkin tercapai jika anggotanya bebas dari kepentingan politik.

Oleh: Rusdianto Sudirman 

Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 

TRIBUN-TIMUR.COM - Pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi peristiwa politik dan hukum yang menarik perhatian publik.

Langkah ini muncul di tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Polri dan meningkatnya desakan agar lembaga penegak hukum itu kembali kepada jati dirinya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. 

Reformasi kepolisian telah lama menjadi agenda nasional, tetapi selama lebih dari dua dekade, perubahan yang diharapkan belum menyentuh akar persoalan struktural dan kultural yang menggerogoti tubuh Polri.

Namun, harapan publik terhadap komisi baru ini segera diiringi kegelisahan ketika komposisi anggotanya diumumkan.

Di dalamnya terdapat pejabat yang masih aktif menjabat sebagai menteri, serta beberapa mantan Kapolri yang selama ini justru menjadi bagian dari sistem yang dianggap gagal memperbaiki institusi. 

Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, bisakah reformasi sungguh dilakukan oleh mereka yang menjadi bagian dari masa lalu yang hendak dibenahi?

Salah satu persoalan mendasar yang segera tampak ialah keikutsertaan sejumlah pejabat negara yang masih aktif menjabat di pemerintahan.

Beberapa di antaranya adalah menteri kabinet dan pejabat tinggi negara, bahkan Kapolri aktif sendiri turut duduk di dalam komisi. 

Padahal, secara prinsip tata kelola pemerintahan yang baik menuntut adanya pemisahan yang jelas antara fungsi pelaksana dan fungsi pengawas.

Bagaimana mungkin seseorang yang masih aktif di dalam struktur eksekutif bahkan memiliki kewenangan langsung terhadap lembaga yang akan direformasi dapat bersikap objektif dalam menilai dan mengoreksi sistem yang ia pimpin?

Dalam hukum tata negara, benturan kepentingan seperti ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip checks and balances.

Ketika seorang pejabat publik duduk di dua kursi sekaligus sebagai pelaksana dan pengawas maka fungsi kontrol akan kehilangan daya kritisnya.

Komisi yang semestinya menjadi wadah penilaian independen berpotensi menjelma menjadi ruang legitimasi bagi kebijakan lama.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved