Opini
Teknologi dan Pendidikan
Dalam video itu, ia menampilkan sejumlah muridnya menggunakan Virtual Reality dalam sebuah kelas.
Penulis: Sofyan Basri Dosen Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Makassar
Beberapa hari lalu, seorang teman saya; seorang guru sekolah dasar di Kota Makassar--mengunggah sebuah video di story whatsappnya.
Dalam video itu, ia menampilkan sejumlah muridnya menggunakan Virtual Reality dalam sebuah kelas.
Keterangan video itu adalah “serunya nonton metaverse”.
Saya lalu mengomentari story itu dengan sebuah emotion kaget.
Lalu, teman saya itu membalasanya dengan sebuah kalimat pendek tapi bagi saya sarat akan makna “kagetna deh”.
Tidak puas, saya membalas dengan kalimat reflektif “saya dulu ketika sekolah dasar hanya main karet, me’belle, kucing-kucingan, main bola”.
Jujur, percakapan singkat itu seperti menampar saya.
Sebab, saya merasa tertinggal dengan perkembangaan teknologi pembelajaran pada tingkat sekolah dasar.
Tapi juga berangkali, perasaan saya itu adalah rasa iri atas proses pendidikan di tingkat sekolah dasar yang saya lalui dimasa lalu.
Karena, penuh dengan keterbatasan. Jangankan menggunakan Virtual Reality seperti yang dalam story teman saya itu.
Sepatu pun sulit ditemukan di dalam kelas. Bahkan, dulu ketika masih sekolah dasar, saya ke sekolah hanya menggunakan sendal jepit.
Jika hujan, tidak pakai alas kaki alias makkaje-kaje dalam bahasa Bugis Sinjai, yang artinya bertelanjang kaki.
Sebabnya, jalan tidak mulus seperti sekarang; kubangan kerbau ketika hujan dan debu beterbangan ketika kemarau.
Teknologi dan pendidikan untuk situasi hari ini, sepertinya memang tidak dapat dipisahkan.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.