Opini
Menyelisik Kasus Ijazah dengan Lingustik Forensik
Penetapan tersangka itu telah melalui asistensi dan gelar perkara yang melibatkan internal dan eksternal.
Dalam kasus ijazah yang menimpa Presiden VII Republik Indonesia tersebut, pisau bedah linguistik forensik dapat digunakan.
Sisi ambiguitas leksiko gramatikal dan lebih khusus berkaitan ambiguitas grafis fonetik yang digunakan dalam penulisan ijazah tersebut dapat menjadi objek penelitian.
Ambiguitas fonetik yang dimaksukan di sini adalah perbedaan grafis fonem yang tertera pada ijazah yang menjadi objek masalah dengan ijazah pembandingnya.
Dalam hal aspek ambiguitas fonetik ini rasanya sudah dilakukan oleh Roy Surya cs. Ternyata dari tiga ijazah pembanding, ditemukan perbedaan antara ijazah X (ijazah Jokowi) dengan ijazah Y dan Z (ijazah pembanding).
Antara ijazah Y dan Z terdapat kesamaan. Dengan dua pembanding tersebut seorang peneliti sudah bisa mengambil simpulan bahwa ada yang tidak identik (similar) antara ketiga ijazah tersebut; X dengan Y dan X dengan Z. Tetapi Y dan Z memiliki kesamaan.
Di dalam kajian linguistik forensik Y dan Z tersebut disebut adanya similaritas (kemiripan, kesamaan) dalam bidang fonemik (tentang fonen, bunyi atau konvensi grafis).
Penerapan linguistik forensik pernah digunakan di Indonesia pada tahun 2013 dalam kasus Akseyna, seorang mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas MIPA UI yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga UI.
Pemeriksaan awal oleh Polresta Depok, Akseyna diduga bunuh diri lantaran depresi. Polisi mengacu pada cerita kekecewaan yang diutarakan Akseyna kepada ibunya dan memo bunuh diri yang ditemukan di kamar kos.
Simpulan polisi ini kemudian dibantah dengan analisis linguistik melalui pendekatan “authorship analysis” atau analisis kepengarangan untuk memeriksa keaslian memo bunuh diri yang ditemukan sebagai barang bukti yang digunakan polisi.
Hasilnya, setelah membandingkan memo dalam kasus Akseyna dengan korpus (sosok) memo bunuh diri dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, ditemukan beberapa fakta, Memo bunuh diri Akseyna adalah palsu.
Jadi, bahasa di sini digunakan sebagai barang bukti (‘language as evidence’), yakni berkaitan dengan kepengarangan dan komunikasi yang membutuhkann teori-teori linguistik.
Oleh sebab itu, jika dilaksanakan sidang pengadilan terhadap kasus ijazah ini sejatinya melibatkan ahli linguistik forensik.
Dalam banyak sidang yang berkaitan dengan persoalan wacana kebahasaan, selama ini para penegak hukum kita lebih merujuk pada persoalan hukum normatif.
Misalnya mengaitkan suatu wacana dengan perangkat hukum yang tersedia, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau dengan KUHP.
Saya yakin dengan menggunakan linguistik forensik, kasus dugaan ijazah palsu ini akan lebih transparan. Bahkan -- maaf -- telanjang bulat. (*).

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.