Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pak Harto, Pahlawan Bangsa?

Bagi sebagian orang, hal ini terasa wajar mengingat besarnya peran Pak Harto dalam membangun fondasi ekonomi Indonesia modern.

Editor: Sudirman
Tribun-Timur.com
OPINI - Pengamat Politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Rahmat Muhammad. 

Ringkasan Berita:
  • Menjelang Hari Pahlawan, perdebatan mengenai kelayakan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali muncul. Pendukung menilai Soeharto berjasa besar membangun ekonomi dan stabilitas nasional selama Orde BarU.
  • Penentang mengingat pelanggaran HAM dan otoritarianisme di masa pemerintahannya. 
  • Soeharto, tokoh sentral Orde Baru, dinilai sebagian masyarakat pantas menjadi pahlawan nasional karena keberhasilannya membangun ekonomi, mencapai swasembada pangan.

Oleh: Rahmat Muhammad 

Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap menjelang Peringatan Hari Pahlawan 10 November, masyarakat Indonesia selalu dihadapkan pada perdebatan klasik “siapa yang layak disebut pahlawan?”

Beberapa tahun terakhir, nama Soeharto sebagai mantan Presiden Indonesia selanjutnya disebut Pak Harto nama yang familiar di masa orde baru kembali mencuat dalam wacana pemberian gelar pahlawan nasional.

Bagi sebagian orang, hal ini terasa wajar mengingat besarnya peran Pak Harto dalam membangun fondasi ekonomi Indonesia modern.

Namun bagi sebagian lainnya, ide itu justru menimbulkan luka lama, sebuah pengingat atas masa kelam kebebasan dan pelanggaran hak asasi manusia di era Orde Baru.

Catatan sejarah tidak bisa dipungkiri, Pak Harto adalah tokoh besar dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia terutama dalam mengisi kemerdekaan.

Setelah peristiwa 30 September 1965, Pak Harto muncul sebagai figur militer yang dianggap mampu menstabilkan keamanan negara dari upaya Gerakan Partai Komunis untuk merubah ideologi Pancasila.

Sehingga melalui Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Pak Harto mengambil alih kepemimpinan nasional dan membuka babak baru yang dikenal sebagai Orde Baru. Selama lebih dari tiga dekade, ia memimpin Indonesia dengan visi pembangunan yang kuat. 

Hasilnya, swasembada pangan tercapai, infrastruktur berkembang, dan ekonomi tumbuh pesat. Bagi banyak orang, masa itu adalah masa “keemasan” stabilitas dan kemajuan.

Namun, sejarah tidak pernah hanya melihat satu sisi. Di balik keberhasilan pembangunan, rezim Pak Harto juga meninggalkan catatan gelap, yakni pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat, korupsi yang mengakar, dan pelanggaran HAM di berbagai daerah seperti Timor Timur dan Tanjung Priok.

Ketika gerakan reformasi meletus pada 1998, rakyat menuntut bukan hanya pergantian pemimpin, tetapi juga penghapusan praktik otoritarianisme yang telah lama mengekang.

Dari sinilah perdebatan tentang kelayakan gelar pahlawan bagi Pak Harto menemukan konteks moral dan politiknya. 

Pertanyaannya, apakah gelar pahlawan hanya boleh diberikan kepada tokoh yang tanpa cela? Ataukah bangsa ini bisa menilai seseorang secara lebih proporsional dengan mengakui jasanya, tanpa menutup mata terhadap kekurangannya?

Sejarah bangsa lain menunjukkan bahwa tokoh besar sering kali juga meninggalkan kontroversi. Misalnya, banyak pemimpin dunia yang diingat karena jasa besarnya meski pernah melakukan kesalahan fatal.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved