Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menyelisik Kasus Ijazah dengan Lingustik Forensik 

Penetapan tersangka itu telah melalui asistensi dan gelar perkara yang melibatkan internal dan eksternal.   

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Dahlan Abubakar Dosen Luar Biasa FIB Unhas  
Ringkasan Berita:
  • Polda Metro Jaya menetapkan Roy Suryo dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. 
  • Penetapan ini dibagi menjadi dua klaster setelah melalui proses asistensi dan gelar perkara. 
  • Publik menilai langkah polisi itu seolah mengonfirmasi keaslian ijazah Jokowi, padahal secara hukum penentuan keaslian dokumen negara hanya bisa diputuskan oleh PTUN. 
  • Sejumlah pihak menilai tindakan ini prematur dan sarat kepentingan politik. 
 

 

Oleh: M.Dahlan Abubakar

Dosen Luar Biasa FIB Unhas 

TRIBUN-TIMUR.COM - Polisi menetapkan Roy Suryo cs sebagai tersangka kasus tudingan ijazah palsu Jokowi.  Ada 8 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. 

“Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri dalam konferensi pers di gedung Ditreskrimum Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (7/11/2025), mengatakan penetapan tersangka dibagi menjadi 2 klaster,” tulis salah satu media daring, Jumat sore yang saya baca.

Kapolda melanjutkan,  penetapan tersangka itu telah melalui asistensi dan gelar perkara yang melibatkan internal dan eksternal.   

Membaca berita ini publik menyimpulkan bahwa penetapan tersangka atas beberapa orang tersebut membuktikan bahwa ijazah Presiden VII yang dipersoalkan itu sudah ditetapkan sebagai asli.

Sementara Kapolda Metro Jaya beberapa waktu lalu, setelah membandingkan beberapa ijazah dengan fotocopy ijazah Jokowi hanya menyebutkan ‘identik’.  Padahal, identik itu belum tentu sama.  

Pengumuman Polda atas “keidentikan” ijazah Jokowi tersebut adalah suatu hal yang prematur.

Polda Metro Jaya sebenarnya tidak berhak menetapkan satu dokumen tersebut asIi atau tidak tanpa melalui keputusan pengadilan yang berketetapan permanen.

Mantan Kabareskrim Komjen Pol (Purn.) Susno Duaji mengatakan dalam berbagai forum menegaskan, yang bisa menentukan asli atau tidaknya dokumen negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Barang” (ijazah Jokowi ini) belum sampai diajukan ke PTUN, malah sudah ‘prematur’ ditetapkan seolah-olah asli karena para penggugat ijazah itu sudah ditetapkan tersangka. 

Saya juga sangat sangsi jika kasus ijazah ini dilimpahkan ke PTUN. Pasalnya, relasi kuasa dan politik akan bermain di balik penetapan keputusan akhir sidang.  

Pihak PTUN pun bukan lembaga yang ‘steril’ dengan opengaruh dan relasi kekuasaan dan politik. Lembaga itu akan mencari saksi ahli yang bisa mendukung upaya untuk memutuskan bahwa ijazah tersebut benar-benar asli. 

Persoalan kasus di negara yang konon negara hukum kita, apalagi melibatkan sosok yang pernah berkuasa, selalu mudah ditebak arahnya.  

Kita terlalu banyak “omon-omon” tentang penegakan hukum, tetapi dalam praktiknya berbanding terbalik dengan apa yang disuarakan.

Contoh yang sangat telanjang, pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden dengan memanipulasi frasa di Mahkamah Konstitusi merupakan contoh buruk pelanggaran hukum yang sangat permisif di republik ini.  

Pelanggaran hukum ini akan dicatat oleh sejarah bangsa  ke depan bahwa pernah ada suatu masa, lembaga mahkamah bisa dibelokkan untuk kepentingan politik dinasti tertentu. 

Kembali kepada persoalan ijazah, terus terang berdasarkan nalar sehat, ijazah yang dipermasalahkan itu memang menimbulkan kecurigaan.

Selain fotonya mengenakan kacamata yang merupakan foto ijazah yang tidak lazim, beberapa ijazah yang terbit pada tahun yang sama dan sudah diperbandingkan dan ternyata berbeda.

IIjazah yang bermasalah ini memang berbeda dengan yang lainnya. Hal ini sudah berkali-kali diungkapkan oleh Roy Suryo dkk. Belum lagi proses penulisan skripsi yang tidak lazim.

Semua itu sudah terungkap dengan jelas dan sudah viral di media. Tetapi pihak berwewenang selalu berusaha berkelit demi membela sosok tertentu.  
 
Lingustik Forensik

Kini kasus-kasus yang masuk ke pengadilan bisa memanfaatkan jasa ahli linguistik forensik. Pengadilan dapat menyelisik (mengungkapkan) orisinalitas suatu dokumen, seperti ijazah, menggunakan subdisiplin linguistik ini.  

Linguistik forensik merupakan subdisiplin linguistik yang mengkaji linguistik dan hukum dan isu-isu legal.  

Menurut Coulthard dan Jonhson (2010), tulis Anhar Rabi Hamsah dalam bukunya berjudul “Kejahatan Berbahasa” (Language Crime) -- Penerbit Langgam Pustaka (2022).

Kajian linguistik forensik meliputi: bahasa dalam dokumen resmi; bahasa penegak hukum dan polisi; interaksi di ruang pengadilan; interviu antara anak-anak dengan saksi dalam legal; bukti linguistik dan testimoni saksi ahli di ruang pengadilan; atribusi menulis dan plagiasi; dan fonetik forensik serta identifikasi penutur. 

Dua pakar linguistik tersebut menyebutkan, linguistik forensik memiliki tugas mengungkap; makna morfologis dan similaritas (kemitipan, kesamaan) fonetik (tentang pengucapan, bunyi ujar); kompleksitas sintaktik (tentang susunan kalimat) dalam surat resmi; ambiguitas leksiko gramatikal (makna ganda dalam tata bahasa kamus); makna leksikal (makna kamus); dan makna pragmatik (sesuai konteks).

Meskipun merupakan subdisiplin ilmu linguistik, linguistik forensik merupakan ilmu multidisiplin.

Analisisnya dapat diperbantukan dengan bidang ilmu lain, seperti bahasa, ilmu hukum, ilmu kejiwaan, ilmu sosial, dan bidang ilmu lain yang mampu memecahkan suatu masalah kriminal. 

Olsson (2008:3) tulis Anhar Rabi Hamsah dalam bukunya itu, linguistik forensik adalah hubungan antara bahasa dengan penegakan, masalah, perundang-undangan, perselisihan atau proses dalam hukum yang berpotensi melibatkan beberapa pelanggaran terhadap hukum atau keharusan untuk mendapatkan penyelesaian hukum.

Dalam kasus ijazah yang menimpa Presiden VII Republik Indonesia tersebut, pisau bedah linguistik forensik dapat digunakan.

Sisi ambiguitas leksiko gramatikal dan lebih khusus berkaitan ambiguitas grafis fonetik  yang digunakan dalam penulisan ijazah tersebut dapat menjadi objek penelitian.

Ambiguitas fonetik yang dimaksukan di sini adalah perbedaan grafis fonem yang tertera pada ijazah yang menjadi objek masalah dengan ijazah pembandingnya. 

Dalam hal aspek ambiguitas fonetik ini rasanya sudah dilakukan oleh Roy Surya cs. Ternyata  dari tiga ijazah pembanding, ditemukan perbedaan antara ijazah X (ijazah Jokowi) dengan ijazah Y dan Z (ijazah pembanding).

Antara ijazah Y dan Z terdapat kesamaan. Dengan dua pembanding tersebut seorang peneliti sudah bisa mengambil simpulan bahwa ada yang tidak identik (similar) antara ketiga ijazah tersebut; X dengan Y dan X dengan Z. Tetapi Y dan Z memiliki kesamaan.  

Di dalam kajian linguistik forensik Y dan Z tersebut  disebut adanya similaritas (kemiripan, kesamaan)  dalam bidang fonemik (tentang fonen, bunyi atau konvensi grafis).

Penerapan linguistik forensik pernah digunakan di Indonesia pada tahun 2013 dalam kasus Akseyna, seorang mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas MIPA UI yang jasadnya ditemukan di Danau Kenanga UI.

Pemeriksaan awal oleh Polresta Depok, Akseyna diduga bunuh diri lantaran depresi. Polisi mengacu pada cerita kekecewaan yang diutarakan Akseyna kepada ibunya dan memo bunuh diri yang ditemukan di kamar kos.

Simpulan polisi ini kemudian dibantah dengan analisis linguistik melalui pendekatan “authorship analysis” atau analisis kepengarangan untuk memeriksa keaslian memo bunuh diri yang ditemukan sebagai barang bukti yang digunakan polisi.

Hasilnya, setelah membandingkan memo dalam kasus Akseyna dengan korpus (sosok) memo bunuh diri dan beberapa hasil penelitian sebelumnya, ditemukan beberapa fakta, Memo bunuh diri Akseyna adalah  palsu.

Jadi, bahasa di sini digunakan sebagai barang bukti (‘language as evidence’), yakni berkaitan dengan kepengarangan dan komunikasi yang membutuhkann teori-teori linguistik.

Oleh sebab itu, jika dilaksanakan sidang pengadilan terhadap kasus ijazah ini sejatinya melibatkan ahli linguistik forensik.

Dalam banyak sidang yang berkaitan dengan persoalan wacana kebahasaan, selama ini para penegak hukum kita lebih merujuk pada persoalan hukum normatif.

Misalnya mengaitkan suatu wacana dengan perangkat  hukum yang tersedia, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau dengan KUHP.  

Saya yakin dengan menggunakan linguistik forensik, kasus dugaan ijazah palsu ini akan lebih transparan. Bahkan -- maaf -- telanjang bulat. (*).

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved