Opini
Negara, Pengusaha, dan Ruang di Luar Pasar
Obligasi yang katanya bukan sekadar utang, melainkan bentuk cinta tanah air versi baru — dengan kupon 2 persen, jauh di bawah suku bunga pasar.
Sebagian ekonom melihat Patriot Bonds sebagai cara baru untuk “menyatukan” pemerintah dan pengusaha dalam proyek nasional.
Tapi barangkali yang lebih penting adalah bagaimana skema ini merefleksikan perubahan paradigma kekuasaan: bahwa di era pasca-demokrasi, kolaborasi antara negara dan bisnis tidak lagi terjadi di meja tender, tapi di ruang legitimasi.
Pengusaha besar kini tahu bahwa reputasi sosial sama berharganya dengan profit. Pemerintah tahu bahwa dukungan elite ekonomi bisa menstabilkan kebijakan.
Keduanya saling membutuhkan — tapi kedekatan itu harus diawasi agar tidak berubah menjadi ketergantungan.
Sebab sejarah Indonesia mengajarkan satu hal: setiap kali kekuasaan dan modal terlalu nyaman berpelukan, yang tertinggal biasanya adalah rakyat biasa.
Sebuah Cermin
Patriot Bonds pada akhirnya bukan cuma soal utang negara atau portofolio pengusaha. Ia adalah cermin tentang bagaimana kita memaknai tanggung jawab, kepercayaan, dan nasionalisme di era kapitalisme.
Apakah patriotisme bisa dijual dalam bentuk kupon dua persen?
Apakah cinta tanah air bisa diukur lewat nominal obligasi? Atau, justru, apakah di sinilah negara sedang belajar cara baru membiayai cita-citanya — bukan lewat pajak, bukan lewat donor, tapi lewat jaringan rasa memiliki yang (seharusnya) tulus?
Bila dijalankan dengan benar, Patriot Bonds bisa menjadi eksperimen penting: membuktikan bahwa nasionalisme ekonomi bukan sekadar slogan, tapi kesepakatan sosial yang bisa diukur dan diaudit.
Tapi jika dikelola secara eksklusif dan tertutup, ia akan berakhir sebagai episode lain dari drama lama: antara kekuasaan, uang, dan idealisme yang dijual murah.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.