Opini
Negara, Pengusaha, dan Ruang di Luar Pasar
Obligasi yang katanya bukan sekadar utang, melainkan bentuk cinta tanah air versi baru — dengan kupon 2 persen, jauh di bawah suku bunga pasar.
Mari jujur: dengan kupon hanya dua persen, siapa yang benar-benar mau membeli Patriot Bonds demi keuntungan?
Tidak banyak. Tapi siapa yang berani menolak jika ajakan itu datang dari atas — dari pemerintah yang sedang menilai siapa pengusaha yang “peduli bangsa”? Di sinilah daya tarik sekaligus bahaya Patriot Bonds. Ia mempermainkan dua jenis modal sekaligus: uang dan kedekatan.
Dalam sosiologi ekonomi, hal seperti ini disebut “relational exchange” — transaksi yang bukan sekadar ekonomi, tapi sosial dan politik.
Para pembeli Patriot Bonds mungkin tak mengejar margin, tapi mereka membeli sesuatu yang tak tertulis di prospektus: akses, hubungan, perlindungan, atau setidaknya citra baik di mata negara.
Dalam bahasa lembut, ini sinergi. Dalam bahasa jujur, ini politik ekonomi. Negara memperoleh dana murah; pengusaha memperoleh reputasi. Semua tampak patriotik — sampai publik bertanya siapa yang benar-benar diuntungkan.
Ujian Kepercayaan
Yang sedang diuji di sini bukan semata kapasitas fiskal negara, tapi juga trust architecture antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat.
Survey Litbang Kompas pada Oktober 2025 menunjukkan bahwa mayoritas responden (83,4 persen) meyakini keterlibatan pengusaha besar dalam Patriot Bonds akan memengaruhi kebijakan pemerintah secara politik.
Pengusaha besar Indonesia tumbuh dalam relasi yang ambivalen dengan negara — kadang bermitra, kadang bersaing, kadang terikat oleh rasa sungkan yang sulit dijelaskan.
Patriot Bonds mempertegas relasi ini: mereka diajak berinvestasi bukan karena negara tak punya pilihan lain, tapi karena pemerintah ingin menguji siapa yang masih setia di lingkar dalam pembangunan nasional.
Apakah ini salah? Tidak juga. Di banyak negara, elite ekonomi memang punya tanggung jawab sosial yang besar. Tapi bedanya, di tempat lain, kontribusi itu diatur oleh mekanisme transparan, bukan rasa sungkan atau kalkulasi politik.
Di sinilah tantangan Indonesia: bagaimana mengubah kewajiban informal menjadi kolaborasi yang profesional. Bagaimana menjadikan partisipasi bisnis besar bukan sekadar bentuk “bakti”, melainkan keputusan ekonomi yang rasional, dengan tata kelola yang bisa diaudit publik.
Dari “Gotong Royong” ke Akuntabilitas
Narasi resmi Patriot Bonds menonjolkan semangat gotong royong. Tapi gotong royong di abad ke-21 tak cukup bermodal niat baik; ia butuh sistem yang bisa dipercaya.
Jika Danantara ingin instrumen ini sukses jangka panjang, laporan penggunaan dana dan hasil proyek harus terbuka.
Setiap rupiah yang dipinjam dari patriotisme publik perlu dipertanggungjawabkan dalam bahasa yang bisa dibaca semua orang — bukan hanya dalam rapat tertutup atau laporan korporasi.
Tanpa itu, Patriot Bonds akan mudah dicurigai sebagai bentuk “kontribusi wajib” yang dibungkus retorika nasional. Padahal esensinya seharusnya kebalik: sukarela, kredibel, dan memberi manfaat nyata.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.