Opini
Sumpah Pemuda: Memahat Batu Nisan KNPI!?
bangsa Indonesia berkumpul untuk menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda 1928 setiap tanggal 28 Oktober.
TRIBUN-TIMUR.COM- Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia berkumpul untuk menghidupkan kembali semangat Sumpah Pemuda 1928.
Namun, di tengah gegap gempita peringatan itu, ada sebuah pertanyaan yang menggumpal: Bukankah upacara tahunan ini justru semakin mirip dengan ritual memahat batu nisan bagi wadah pemersatu pemuda itu sendiri, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)?
Sumpah Pemuda, yang seharusnya menjadi roh pergerakan, kini terasa seperti monumen yang dikunjungi setahun sekali.
Sementara itu, KNPI, yang dahulu dianggap sebagai "parlemen pemuda", kini terpinggirkan, kehilangan relevansi, dan menjadi simbol dari kegagalan representasi pemuda Indonesia yang sesungguhnya.
Disalah satu group whatsapp ada undangan beredar untuk menghadiri Hari Sumpah Pemuda tapi hanya kepanitiaan dengan logo HSP dan Logo Pemprov di kop suratnya, yang mirisnya ada daftar nama-nama OKP dan KNPI berserta berapa utusan masing-masing organisasi.
Nampaknya KNPI menjadi OKP kesekian dari daftar itu. Mungkin juga pemahaman pemerintah juga demikian, sebuah ironi yang pedis bagi penggiat Kepemudaan/KNPI.
Baca juga: Semangat Sumpah Pemuda di Era Validasi
KNPI dan Krisis Legitimasi: Suara Siapa yang Dia Wakili?
KNPI didirikan pada 1973 sebagai wadah tunggal untuk menyalurkan aspirasi kepemudaan. Namun, di era demokrasi digital ini, klaim sebagai "wakil pemuda" menjadi absurd.
Jumlah pemuda Indonesia (16-30 tahun) pada 2023 adalah 64,92 juta jiwa (BPS, 2023). Sebuah angka yang sangat masif dan sangat beragam.
KNPI, dengan struktur yang hierarkis dan cenderung birokratis, gagal menampung kompleksitas suara 64 juta pemuda ini.
Pemuda hari ini lebih terwakili oleh gerakan-gerakan spesifik dan organik seperti Extinction Rebellion Indonesia untuk isu lingkungan, Kawal Pemilu untuk isu transparansi, atau komunitas digital untuk isu kreatif ekonomi.
KNPI menjadi seperti museum yang berusaha memamerkan satu lukisan untuk mewakili seluruh seni rupa modern. Ia ketinggalan zaman.
Fungsinya sebagai jembatan antara pemuda dan kekuasaan telah diputus oleh internet dan desentralisasi aksi kolektif. Ia masih ada, tetapi nyaris tak terdengar, bagai batu nisan yang hanya dibersihkan pada hari-hari tertentu.
Pemuda Indonesia Hari Ini: Terfragmentasi dan Menemukan Jalannya Sendiri
Pemuda Indonesia kontemporer bukanlah entitas yang monolitik. Mereka adalah generasi yang terfragmentasi berdasarkan minat, isu, dan identitas, tetapi terhubung secara digital.
Data Pengangguran & Prekariat: TPT pemuda (15-24 tahun) masih 14,93 persen (Bappenas, 2023). Ini menciptakan generasi "prekariat" yang sibuk bertahan hidup, jauh dari urusan organisasi kepemudaan yang formal.
Data Keterhubungan Digital: Sebanyak 78,19 persen populasi sudah online (APJII 2023-2024), dan pemuda adalah penggerak utamanya. Mereka tidak lagi membutuhkan gedung pertemuan untuk bersumpah; mereka bersumpah dan beraksi melalui petisi online, thread Twitter, dan kampanye media sosial.
| Soeharto dan Gelar Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Bangsa |
|
|---|
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.