Opini Andi Adri Arief
Ketika Pemuda Bahari Kehilangan Lautnya: Membaca Ulang Sumpah Pemuda
Laut kini dikuasai izin, modal besar, dan kepentingan ekspor. Sementara di desa-desa pesisir, biaya melaut mahal, harga ikan tak stabil ...
Oleh: Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi
Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin
TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa ini kembali menunduk hormat kepada sejarah: Sumpah Pemuda, ikrar tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Namun di luar aula Kongres Pemuda 1928 yang sering kita rayakan secara seremonial, jauh sebelumnya telah ada “kongres” lain yang berlangsung dalam bentuk kehidupan — di laut, di perahu, di pasar ikan, di pelabuhan-pelabuhan kecil Nusantara.
Kongres itu tak berpidato, tak menulis ikrar, tetapi mempraktikkan persatuan secara nyata. Artinya, semangat persatuan bangsa ini tidak hanya tumbuh di ruang darat dan bahasa, tetapi juga di ruang laut — tempat para pemuda bahari membangun Indonesia jauh sebelum republik lahir.
Pemuda-pemuda bahari Bugis, Bajo, Makassar, Mandar, Madura, dan Bawean telah menjelajahi laut Nusantara selama berabad-abad. Mereka menyeberangi Teluk Bone, Laut Flores, Arafuru, hingga pantai utara Australia; berdagang teripang, mutiara, dan hasil laut lain. Seperti dicatat Campbell Macknight (1976), pelayar Bugis dan Makassar bahkan telah mencapai pantai Australia Utara sebelum abad ke-18.
Laut bagi mereka bukan pemisah, melainkan ruang sosial yang mempersatukan. Namun Henri Lefebvre (1991) memperingatkan bahwa, ruang bukanlah wadah kosong, melainkan hasil produksi sosial — dan karena itu selalu memuat relasi kuasa. Maka, ketika laut diatur melalui izin dan investasi, ia bukan lagi ruang publik, melainkan produk politik yang berpihak.
Dengan demikian, konsep Lefebvre tentang produksi ruang menemukan relevansinya di laut Indonesia hari ini: ruang yang dulu terbentuk oleh solidaritas dan pengetahuan lokal kini diproduksi ulang oleh modal dan regulasi
Pemuda-pemuda bahari hari ini, telah kehilangan lautnya. Bukan karena ombak yang tinggi, tetapi karena keadilan sosial tak lagi hadir di laut. Laut kini dikuasai izin, modal besar, dan kepentingan ekspor. Sementara di desa-desa pesisir, biaya melaut mahal, harga ikan tak stabil, dan hasilnya tak sepadan. Pemuda pesisir kehilangan pilihan hidup: bertahan di laut tanpa jaminan atau ke daratan tanpa akses pekerjaan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025, kelompok usia 15–24 tahun memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi, yakni 16,16 persen dari total angkatan kerja. Data ini juga dikutip oleh Tempo (7 Oktober 2025), yang mengutip laporan Bank Dunia bertajuk East Asia and Pacific Economic Update, menyebut “satu dari tujuh pemuda di Indonesia tidak memiliki pekerjaan.” Sementara fenomena NEET ( Not in Employment, Education, or Training ) di Indonesia mencapai 9,9 juta jiwa atau 22,25 persen dari kelompok usia muda (Tempo, 2024, mengutip BPS).
Artinya, negeri yang begitu kaya sumber daya alam (darat dan laut) justru gagal menyediakan akses ruang hidup bagi generasi mudanya — terutama di wilayah pesisir. Di banyak desa nelayan, pemuda menganggur bukan karena malas, melainkan karena sistem pendidikan dan ekonomi gagal membuka ruang regenerasi yang berkemajuan. Akses permodalan terbatas, infrastruktur perikanan minim, dan kebijakan ruang laut kerap berpihak hanya pada korporasi.
Maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa di laut — ruang persatuan paling purba itu — pemuda bahari kini tak lagi punya tempat karena dirampas oleh oligarki atas nama pembangunan.
Proyek reklamasi, tambang laut dalam, hingga industri perikanan besar merampas ruang hidup nelayan kecil. David Harvey (2003) menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession — ketika ruang hidup rakyat diubah menjadi komoditas ekonomi yang menguntungkan segelintir elite.
Akibatnya, pengetahuan dan cara hidup bahari yang diwariskan turun-temurun hilang, tergantikan oleh logika pasar yang kering nilai. Jika Lefebvre menjelaskan bagaimana ruang diproduksi oleh relasi kuasa, maka Harvey menunjukkan konsekuensinya: ruang yang diproduksi secara kapitalistik selalu menyingkirkan mereka yang lemah — termasuk nelayan dan pemuda bahari
Jika menengok ke akar ideologis bangsa, kita mendapati bahwa Persatuan Indonesia (sila ketiga) tak mungkin hidup tanpa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (sila kedua). Roh dari persatuan adalah keadilan. Tak ada persatuan sejati di atas ketimpangan, sebagaimana tak ada kebangsaan kokoh tanpa pemerataan kesejahteraan.
Sayangnya, pembangunan hari ini sering menjadikan “persatuan” sekadar slogan, sementara keadilan diabaikan. Di laut, nelayan kecil dilarang menangkap ikan di wilayahnya sendiri karena izin industri besar. Di kota, pemuda Gen Z terpaksa menjadi penganggur di tengah janji ekonomi digital yang tak inklusif. Persatuan kehilangan ruhnya — karena keadilan hanya berhenti di teks, bukan di kebijakan.
Andi Adri Arief
28 Oktober
Sumpah Pemuda
Sosiologi Perikanan Unhas
konsep Lefebvre
Campbell Macknight
| Waspada Pohon Tumbang, Kasus Urip Sumoharjo Kedua Kalinya di Bulan Oktober 2025 |
|
|---|
| Mobil Rusak, Kuasa Hukum Gibran Gagal Hadiri Persidangan Perdata |
|
|---|
| Ditetapkan Tersangka, Sri Reski Ulandari Membantah: Ini Bukan Saya, Pak Herman! |
|
|---|
| BREAKING NEWS: Pohon Tumbang, Jalan Urip Sumoharjo Terblokir |
|
|---|
| Berkendara Lebih Nyaman dan Aman, Cara Mudah Pakai Fitur Honda RoadSync di ADV160 |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.