Opini
Soeharto dan Gelar Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Bangsa
Sebagian pihak menilai Soeharto layak mendapat penghargaan atas jasanya menstabilkan negara dan membangun ekonomi nasional.
Oleh: Rizal Syarifuddin
Dosen Fakultas Teknik, Universitas Islam Makassar
TRIBUN-TIMUR.CO- Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto kembali mencuat ke ruang publik.
Sebagian pihak menilai Soeharto layak mendapat penghargaan atas jasanya menstabilkan negara dan membangun ekonomi nasional.
Namun, sebagian besar masyarakat menilai langkah ini terlalu tergesa dan belum menyentuh keadilan sejarah yang utuh.
Tak dapat dipungkiri, Soeharto adalah sosok penting dalam perjalanan Republik ini.
Ia tampil di tengah kekacauan pasca-peristiwa 1965, mengembalikan stabilitas politik, menata perekonomian, dan memulai era pembangunan nasional.
Program Repelita, Inpres Desa Tertinggal, dan swasembada pangan menjadikan Indonesia dikenal dunia sebagai negara yang mampu bangkit dari krisis.
Baca juga: Jenderal M Jusuf, Komandan Prabowo di ABRI Kini Diusul Bersama Soeharto dan Gusdur Jadi Pahlawan
Dari segi pembangunan fisik, Orde Baru meninggalkan warisan nyata: jalan, irigasi, sekolah, dan sistem birokrasi yang relatif teratur. Dalam hal ini, jasa Soeharto terhadap pembangunan bangsa memang tidak dapat diabaikan.
Namun, pahlawan bukan hanya dinilai dari hasil pembangunan, melainkan juga dari jejak moral dan kemanusiaan yang ditinggalkannya. Pada titik inilah perdebatan menjadi tajam.
Pemerintahan Orde Baru diwarnai praktik pembatasan kebebasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan sistem politik yang menekan.
Kasus Tanjung Priok, Timor Timur, hingga petrus (penembakan misterius) menyisakan luka sejarah yang belum sembuh hingga kini.
Di bidang ekonomi, keberhasilan pertumbuhan yang tinggi tidak dibarengi pemerataan keadilan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mengakar dalam sistem pemerintahan.
Soeharto bahkan pernah dinyatakan sebagai salah satu tokoh paling korup di dunia oleh Transparency International. Warisan inilah yang akhirnya mengguncang kepercayaan publik dan memicu reformasi 1998.
Tak kalah penting, Orde Baru juga meninggalkan catatan kelam dalam hubungannya dengan umat Islam, terutama Nahdlatul Ulama (NU). Pada awal kekuasaannya, rezim Soeharto memandang gerakan Islam politik sebagai ancaman bagi stabilitas nasional.
Melalui kebijakan fusi partai tahun 1973, partai-partai Islam dilebur ke dalam PPP, dan peran politik NU dibatasi. Banyak ulama dan aktivis Islam mengalami tekanan, sementara kegiatan dakwah diawasi secara ketat.
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.