Opini
Semangat Sumpah Pemuda di Era Validasi
Suara notifikasi menjadi musik latar kehidupan, dan kamera menjadi saksi dari setiap langkah yang ingin tampak sempurna.
Oleh : dr Wachyudi Muchsin SKed SH MKes C.Med
Di zaman yang serba terkoneksi, pemuda dan pemudi tumbuh dalam dunia yang tak pernah benar-benar sunyi.
Suara notifikasi menjadi musik latar kehidupan, dan kamera menjadi saksi dari setiap langkah yang ingin tampak sempurna.
Kadang tanpa sadar, kita berhenti hidup untuk bahagia dan mulai hidup untuk terlihat bahagia.
Segalanya kini diukur dari siapa yang melihat, siapa yang menyukai, siapa yang memuji.
Kita berlomba-lomba membangun citra, tapi sering lupa membangun diri.
Hidup pun berubah menjadi panggung panjang, di mana keaslian perlahan tergantikan oleh kebutuhan untuk diakui.
Menurut psikologi sosial, manusia memang diciptakan dengan dorongan alami untuk mencari pengakuan.
Kita ingin diterima, dihargai, dan dianggap penting.
Namun, ketika pengakuan itu menjadi bahan bakar utama untuk bertahan, arah hidup pun bergeser.
Kita tak lagi tahu mana yang benar-benar kita mau, dan mana yang cuma ingin dilihat orang lain.
Setiap unggahan menjadi ajang menakar harga diri.
Notifikasi menjadi ukuran kebahagiaan, sementara proses, perjuangan, dan keheningan batin sering kali terlupakan.
Pencapaian kecil diunggah bukan karena syukur, tapi karena ingin tepuk tangan digital.
Akibatnya, kebahagiaan terasa rapuh bergantung pada layar, bukan pada rasa.
| Soeharto dan Gelar Pahlawan: Antara Jasa dan Luka Bangsa |
|
|---|
| Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual |
|
|---|
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.