Opini
Siri’ na Pacce sebagai Etos Kerja dalam Konteks Bernegara
Apakah tidak ada narasi yang tepat digunakan dalam menghilangkan praktek-praktek keji dan bodoh tersebut?
Sebagai etos hidup masyarakat Bugis-Makassar pada umumnya dan masyarakat Sulawesi secara umum.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis-Makassar falsafah Siri’ na Pacce digunakan sebagai prinsip dalam berbicara, bertindak, berprilaku dan mengambil kebijkan, seperti misalnya kata, Siritaji na kitau (karena rasa malulah kita dinamakan manusia), Siritaji Tojeng (rasa malu karena melakukan perbuatan tercela) yang tidak sesuai dengan norma adat, agama dan negara.
Dalam falsafah hidup masyarakat Bugis-Makassar terdapat empat kategori Siri’ yang perlu dipegang untuk disebut sebagai manusia yang bermartabat.
Yakni, Siri’ ripakasiri yang artinya rasa malu yang erat kaitannya dengan harga diri serta kehormatan keluargga. Kedua, siri’ mappakasiri’ yang artinya rasa malu untuk mempermalukan diri serta keluarga.
Ketiga, siri’ tappela’ siri (Makassar) atau siri’ teddeng siri (Bugis) yang artinya berkaitan dengan nilai-nilai kejujuran dan menepati janji dan siapapun yang berani berjanji harus menepati karena jika tidak makai a melukai harga dirinya.
Keempat, siri’ mate siri’ yakni suatu keadaan dimana sesorang tak lagi memilki rasa malu dan keadaan dimana seseorang melanggar harga diri dan kehormatan masyarakatnya.
Falsafah ini bagi penulis masih sangat relevan untuk digunakan jika kita bercerming dari praktik-praktik di negeri ini di mana masyarakat hingga pejabatnya tanpa rasa malu mempertontonkan kebodohan dan tidak mencerminkan nilai-nilai rasa malu, harga diri, dan martabat.
Praktik-praktik korupsi, kolusi, nepotisme, yang berulang seolah-olah itu adalah kewajiban. Narasi bahwa “kita tidak kekurangan orang cerdas, kita hanya kekurangan orang jujur” agaknya bagi penulis harus ditambah bahwa “kita kekurangan rasa malu dan martabat sebagai manusia”.
Karena jika rasa malu dan empati hadir dalam setiap praktik kehidupan, agaknya bagi penulis kemiskinan akan berkurang karena pemilik kuasa malu untuk mengambil hal yang bukan milikinya, kekerasan dan perampasan lahan akan hilang karena memposisikan diri sebagai sesama manusia yang sama-sama tidak layak untuk mendapatkan kekerasan atas miliknya, serta kebijakan-kebijakan yang lahir adalah wujud dari kepedulian terhadap sesame, bukan karena kebutuhan/kepentingan kelompok dan individu.
Empati untuk Menjadi Manusia yang Bermakna
Bagi penulis empati adalah wujud tertinggi dari rasa, karena ia hadir karena kepedulian dan kesamaan rasa serta keinginan untuk keluar dari penindasan dan kekerasan tidak manusiawi.
Dengan empati manusia dapat dikatakan sebagai manusia, seperti pada makna kata pace/passe yang berarti pedih. Kita mengalami kepedihan dan rasa sakit saat orang-orang disekitar kita bahkan kerabat kita mendapatkan ketidakadilan.
Harusnya kita juga merasa demikian saat melihat orang-orang disekitar mengalami nasib yang serupa, ketika kemiskinan, ketidaktahuan dan kekerasan structural mengancam keberlansungan hidup manusia lainnya.
Penulis membayangkan berbagai peristiwa-peristiwa pilu dari masyarakat kita yang dimiskinkan oleh kebijakan yang tidak representative. Dari sabang sampai Merauke cerita-cerita piluh hadir setiap harinya dan ia membunuh esensi kemanusiaan itu sendiri.
Di Belu NTT (2023) seorang pria menusuk perutnya karena kelaparan dan tak sanggup membeli beras untuk keluarganya, di Tulungagung (2025) sepasang suami istri tewas bunuh diri karena masalah ekonomi, di Bandung (2025) seorang ibu nekat mengakhiri hidupnya dan dua anaknya karena kesulitan ekonomi dan terlilit utang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.