Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Lutra Batal Dipecat

Gunung Es Sengkarut Guru Lutra: Keputusan Gubernur Sulsel pun Dianulir Presiden

Lemahnya pembinaan komite sekolah dan buruknya alur kebijakan membuat keputusan-keputusan penting kerap salah sasaran.

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Abdul Azis Alimuddin
TRIBUN-TIMUR.COM
GURU DIPECAT - Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Dr Adi Suryadi di Redaksi Tribun Timur Jl Cenderawasih Makassar, Kamis (13/11/2025) kemarin. Iamenilai rehabilitasi dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan langkah cepat yang patut diapresiasi. 

Adi Suryadi: Saya sebetulnya prihatin atas kejadian ini.

Pertama, saya ingin mengucapkan selamat kepada Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis atas rehabilitasi yang mereka terima.

Saya juga memberi respon positif kepada Presiden Prabowo yang sigap dan cepat mengambil keputusan.

Setelah ada informasi yang sampai ke beliau—mungkin melalui DPR—Presiden langsung merespons dan memberikan rehabilitasi.

Ini poin penting dari komitmen dan perhatian presiden.

Gubernur Sulsel pun patut diapresiasi atas pernyataan terakhirnya yang menunjukkan bahwa proses ini difasilitasi secara beradab.

Mestinya keputusan presiden dan pengembalian nama baik dua guru ini disusun secara matang agar jelas dan tidak menimbulkan masalah baru.

Sebenarnya, kejadian ini sudah ada solusinya sejak kemarin, tapi diskusi ini penting sebagai pembelajaran bagi banyak pihak, terutama bagi Dinas Pendidikan.

Tidak hanya Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, karena kasus ini hanyalah “pernik kecil” dari begitu kompleksnya persoalan profesi guru di Indonesia.

Ini harus menjadi pelajaran agar semua Dinas Pendidikan lebih berhati-hati.

Masalahnya bukan hanya dua guru yang diberhentikan dengan tidak hormat.

Ada banyak tali-temali persoalan dalam dunia pendidikan kita, salah satunya soal perlindungan terhadap profesi guru.

Seharusnya kasus seperti ini tidak perlu terjadi jika ada antisipasi sejak awal.

Padahal persoalan ini sudah berlangsung dua tahun lalu, namun baru menjadi perhatian nasional setelah memuncak hingga ke meja presiden.

Perlindungan guru ini bagian penting yang harus ditata kembali: apakah aturan yang ada sudah dijalankan dengan baik? Nyatanya, meski banyak aturan dibuat—baik di tingkat kementerian maupun daerah—implementasinya belum berjalan optimal.

Masalah berikutnya adalah komite sekolah.

Menurut saya, pembinaan terhadap komite sekolah sangat tidak maksimal.

Komite adalah struktur penting yang menjadi mediator antara masyarakat dan sekolah.

Sesuai Permendikbud Nomor 75, ada tiga istilah penting: pungutan, sumbangan, dan bantuan.

Istilah-istilah ini sering rancu.

Pembinaan seharusnya menjelaskan secara jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan komite.

Masalah lain terkait hubungan orang tua dan sekolah.

Sumbangan yang sifatnya sukarela seharusnya dapat dikelola dengan baik.

Itu juga menjadi pertimbangan dalam melihat kasus dua guru ini.

Harusnya keberatan dari orang tua dikonfirmasi—apakah benar ada persoalan serius atau tidak.

Jangan hanya melihat laporan; laporan perlu dikonfirmasi untuk menilai apakah pelanggaran layak berujung pemecatan.

Masalah guru honorer juga terkait di dalamnya.

Jika saya melihat, tujuan dari dua guru ini sebenarnya mulia: membantu guru honorer.

Namun pengelolaannya kurang baik.

Jika pembinaan komite dilakukan dengan benar, mungkin hal seperti ini tidak terjadi.

Semua harus berpedoman pada aturan, akuntabilitas, transparansi, serta Permendikbud 75.

Distribusi guru honorer pun menjadi masalah besar.

Banyak guru ingin mengajar di kota, tidak ingin ditempatkan di daerah tertentu.

Ketidakmerataan ini memicu munculnya inisiatif dari bawah untuk mencari dana demi membackup guru honorer.

Guru honorer bekerja dalam tekanan, sementara pekerjaan guru itu sendiri tidak mudah.

Ini menuntut kebijakan yang melihat sisi moralitas dan kemanusiaan.

Akhirnya, ini juga menunjukkan adanya tanggung jawab pemerintah pusat.

Banyak masalah sebenarnya berskala nasional namun tidak ditangani dengan baik oleh kementerian.

Misalnya Permendikbud 75 tentang komite sekolah—tapi follow up dari pemerintah pusat tidak jelas.

Tidak ada sosialisasi yang baik, tidak ada pembinaan yang terukur, dan komite sekolah tidak diberikan dukungan anggaran.

Padahal komite bukan hanya instrumen pasif; mereka memerlukan pembinaan, anggaran, dan kebijakan yang sejalan dengan dinas pendidikan provinsi maupun kabupaten/kota.

Masalah-masalah ini saling terkait dan tidak bisa disalahkan kepada satu pihak saja.

Harus ada evaluasi dari berbagai elemen.(erlan saputra)

Sumber: Tribun Timur
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved