Opini
One Piece di dalam Ruang Sekaligus
Bendera Jolly Roger ala kru Monkey D. Luffy jadi simbol pembebasan. Pesan politiknya terasa di tengah realitas Indonesia
Bendera tersebut tidak sekadar bermakna denotatif: tengkorak, tulang bersilang, topi Jerami dengan pita merah mengitarinya, dan berlatar hitam.
Namun, Ia juga bermakna konotatif: pembebasan dan pemberontakan kepada otoritas kekuasasan.
Meskipun pada abad ke 18, Jolly Roger mengasosiasikan kematian dan teror.
Jika semua unsur visual bendera tersebut ditelanjangi melalui pendekatan semiotika, maka tengkorak dan tulang bersilang mengasosiasikan teror, topi Jerami dengan pita merah mengitari mengasosiasikan kaum tertindas (petani, ndeso, nelayan, kaum menengah ke bawah, dan sebagainya) dengan perlawanan, dan hitam mengasosiasikan penolakan semua bentuk otoritas.
Dengan demikian, jika disusun secara struktural, maka bendera Jolly Roger a la Kru Monkey D. Luffy merupakan asosiasi retoris dari teror perlawanan kaum tertindas terhadap otoritas kekuasaan.
Dengan kata lain, semangat yang di bawah bendera itu adalah semangat pembebasan.
Baca juga: Tak Ada Unsur Makar Pakar UIN Alauddin dan LBH Makassar soal Fenomena Bendera One Piece
Fiksi sebagai Realitas dan Begitupun Sebaliknya
Pada tahun 2024, saya menulis artikel berjudul “Cyborg without Organs: Bartholomew Kuma as a Nomadic Subject (A Collective Interpretation on Oda’s One Piece Manga)”. Melalui tulisan ini, saya mengidenfikasi One Piece sebagai fiksi populer dengan dua alasan sederhana: Pertama, bentuk naratif fiksionalnya melampaui bentuk-bentuk konvensional dari karya sastra pada umumnya melalui grafik-naratif; dan kedua, karena dikonsumsi secara luas serta berpengaruh di berbagai kultur.
Ketika fenomena bendera Jolly Roger Kru Luffy dan One Piece bergema di mana-mana. Saya merefleksi kembali apa makna fiksi itu?
Sebagian Masyarakat memercayai bahwa fiksi adalah khayalan belaka atau sebuah artefak imajinatif.
Persepsi ini tidak bisa dianggap bermasalah sepenuhnya, karena sebagian struktur dari fiksi terbangun melalui proses imajinatif.
Namun dalam konteks ini, sebagian struktur lainnya masih terikat dengan realitas yang ada karena fiksi tidak beranjak berdasarkan ex nihilo, sebagaimana yang diungkapkan oleh Lucien Goldmann.
Meskipun, fiksi itu menarasikan alien berkepala manusia di Planet Kepler-59, tapi pengalaman trans-individual atau sosial pengarang pasti turut terlibat mengkristalisasi struktur naratif fiksi tersebut.
One Piece tentu saja penuh dengan pengalaman sosial, kultural, dan historis.
Sejarah kolonialisasi, korupsi, genosida pengetahuan, rasisme, feminisme, perbudakan, totalitarianisme di berbagai kebudayaan, technopolitik, dan masih banyak lagi, hadir sebagai kristalisasi pengalaman dalam karya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.