Opini
Ulama yang Digantikan Mesin: Krisis Otoritas dan Nalar Islam di Era AI
Pertanyaan keagamaan yang dulu dijawab dengan musyawarah, renungan, dan keilmuan kini bisa dijawab oleh mesin dalam hitungan detik.
Oleh: Prof Hannani
Rektor IAIN Parepare
TRIBUN-TIMUR.COM - Umat Islam kini hidup di zaman ketika fatwa tak lagi lahir dari ruang kajian, tetapi dari pusat data.
Pertanyaan keagamaan yang dulu dijawab dengan musyawarah, renungan, dan keilmuan kini bisa dijawab oleh mesin dalam hitungan detik.
Cukup ketik: “Apakah investasi kripto halal?” dan algoritma segera menampilkan fatwa yang rapi, lengkap dengan dalil dan referensi mazhab.
Fenomena “fatwa digital” ini tampak mengagumkan, tetapi di balik efisiensi algoritma tersimpan kegelisahan besar: apakah umat sedang beralih dari budaya ijtihad menuju budaya instan?
Apakah mesin bisa menggantikan kedalaman nalar dan kehangatan nurani yang selama ini menjadi ruh hukum Islam?
Dari Ijtihad ke Algoritma
Dalam sejarah Islam, hukum tidak pernah statis. Ia hidup dari ijtihad proses pencurahan akal dan jiwa seorang ulama untuk memahami kehendak Tuhan di balik teks.
Ulama seperti Imam Syafi’i, Al-Ghazali, atau Ibn Taymiyyah bukan sekadar menghafal dalil, tetapi membaca realitas.
Kini, peran itu mulai diambil alih oleh Artificial Intelligence (AI). Aplikasi seperti “AI Fatwa Assistant” yang dikembangkan di Mesir, Uni Emirat Arab, dan Malaysia mampu mengolah ribuan teks fiqh dari empat mazhab besar untuk menjawab persoalan hukum.
Dar al-Ifta Mesir bahkan mengumumkan proyek AI mufti untuk “memperluas akses umat terhadap bimbingan syariah.”
Namun, seperti diingatkan pakar hukum Islam kontemporer Abdallah bin Bayyah, hukum Islam bukan hanya kumpulan data normatif, melainkan hikmah yang lahir dari kesadaran spiritual.
“Tidak cukup memahami ayat, seseorang harus memahami manusia,” ujarnya dalam sebuah simposium fikih di Abu Dhabi (2023).
Budaya Instan dan Krisis Refleksi
| Paradigma Baru Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan |
|
|---|
| Bagaimana Komunikasi Jadi Senjata |
|
|---|
| Kampus Unggulan Terpusat di Jawa, tapi SDM di Daerah Kaya Nikel dan Gas Tertinggal |
|
|---|
| Ketika Negara Memberi Trauma |
|
|---|
| Siapa Penemu Benua Australia? James Cook atau Pelaut Makassar? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-13-Prof-Hannani-Yunus.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.