Opini
Pelecehan di Balik Kekuasaan
Dua atasan PT Transjakarta dilaporkan telah melakukan pelecehan terhadap tiga karyawannya.
Oleh: Hafiz Elfiansya Parawu
Dosen FISIP dan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - MASYARAKAT kembali diguncang kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum yang memegang posisi kekuasaan di lembaga publik.
Dua atasan PT Transjakarta dilaporkan telah melakukan pelecehan terhadap tiga karyawannya.
Sebelumnya, publik juga dikejutkan oleh dugaan pelecehan yang melibatkan Rektor Universitas Negeri Makassar terhadap dosennya.
Kasus serupa juga pernah menyeret Ketua Komisi Pemilihan Umum RI Hasyim Asy’ari yang semestinya menjadi teladan dalam menjaga integritas lembaga penyelenggara demokrasi di negeri ini.
Rangkaian kasus ini memperlihatkan pola yang sama, yaitu adanya aksi pelecehan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa terhadap pihak yang berada dalam posisi lebih lemah.
Fenomena ini bukan sekadar tentang perilaku menyimpang dari seseorang, tetapi juga tentang krisis etika dalam kepemimpinan publik.
Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melayani, berubah menjadi alat dominasi dan penyalahgunaan.
Dalam perspektif kebijakan dan kepemimpinan publik, nampak bahwa akar masalahnya terletak pada budaya birokrasi yang masih feodal dan patriarkis.
Relasi kuasa di dalam institusi publik sering kali tidak berjalan sehat.
Pimpinan memandang posisi mereka sebagai kekuasaan mutlak, bukan sebagai pemegang tanggung jawab atau amanah, sehingga menuntut kepatuhan tanpa syarat, sementara bawahan dituntut untuk selalu tunduk dan diam.
Dalam situasi semacam ini, pelecehan mudah terjadi, dan korban kerap terpaksa bungkam karena merasa takut untuk menyuarakan pendapat atau melaporkan pelanggaran, karena khawatir akan konsekuensi negatif terhadap karier mereka.
Seperti demosi atau mutasi yang tidak diinginkan, Lebih menyedihkan lagi, banyak lembaga publik yang merespons kasus seperti ini dengan pendekatan defensif, seperti menutupi aib, mengulur waktu, atau bahkan sampai mempersalahkan korban.
Padahal, tanggung jawab institusi publik bukan hanya menjaga citra, melainkan menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan.
| Ulama yang Digantikan Mesin: Krisis Otoritas dan Nalar Islam di Era AI |
|
|---|
| Paradigma Baru Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan |
|
|---|
| Bagaimana Komunikasi Jadi Senjata |
|
|---|
| Kampus Unggulan Terpusat di Jawa, tapi SDM di Daerah Kaya Nikel dan Gas Tertinggal |
|
|---|
| Ketika Negara Memberi Trauma |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/OPINI-Hafiz-Elfiansya-Parawu.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.