Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kerentanan Saling Mengunci di Pesisir: Kemiskinan Struktural dan Perubahan Iklim

Di wilayah seperti Kepulauan Spermonde, nelayan skala kecil menghadapi badai yang tak sekadar datang dari laut.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin 

Tapi dalam realitas masyarakat pesisir, agensi itu tidak cukup diberi ruang.

Negara menciptakan struktur kebijakan yang tidak akomodatif terhadap kondisi sosial rumah tangga nelayan: dari bantuan yang tersentralisasi, distribusi alat tangkap yang tidak merata, hingga absennya sistem perlindungan sosial berkelanjutan.

Maka, agensi rumah tangga pesisir menyempit. Diversifikasi penghasilan hanya mungkin dilakukan oleh sekitar 20 persen keluarga.

Sisanya bertahan dalam pilihan yang bukan pilihan. Mereka bertahan bukan karena punya daya, tetapi karena tidak punya tempat mundur.

Data nasional memperkuat hal ini: studi pemetaan kerentanan di Aceh Selatan, Pemalang, Pangkep, dan Ambon oleh KNTI–EcoNusa–UI menemukan bahwa rata-rata 51 persen responden menghadapi kerentanan akibat perubahan iklim, dan 29 % mengalami gangguan akses BBM, sedangkan 20 % menghadapi ketidakpastian wilayah tangkap.

Dalam konteks ini, teori adaptasi seperti yang digambarkan Smit dan Wandel menjadi penting: adaptasi bukan hanya reaksi, melainkan kapasitas sosial untuk bertahan dan mentransformasi kondisi struktural yang menindas.

Sayangnya, kemampuan adaptif masyarakat pesisir—yang seharusnya menjadi pengungkit agensi—justru dipinggirkan oleh absennya dukungan sistemik dan kebijakan yang dialogis. 

Kerentanan ini membuat nelayan terpaksa membangun strategi spontan: berpindah daerah tangkap, diversifikasi pekerjaan ke sektor informal, hingga mengandalkan mobilisasi keluarga.

Namun tanpa dukungan negara, strategi ini hanyalah bentuk “survivalisme yang melelahkan”, bukan jalan keluar struktural.    

Perempuan Pesisir: Pilar yang Dilupakan

Dalam diam, perempuan pesisir menjadi agen adaptasi utama, bahkan ketika negara tak melihat mereka.

Mereka mengatur keuangan rumah tangga yang semakin keropos, membentuk jaringan arisan dan gotong royong, menjahit, menjual kue, meminjam ke warung, atau menjual barang rumah tangga. 

Mereka menyerap kerentanan di ruang-ruang domestik, dengan logika ketahanan yang tak tercatat dalam indikator pembangunan. Dalam perspektif feminis, ini adalah bentuk dari “kerja ganda” sekaligus “kerja tak terlihat” (invisible labor) yang menopang keberlanjutan rumah tangga. 

Di tengah kerentanan, mereka tidak hanya mengelola konsumsi dan utang, tetapi juga menjaga kohesi sosial komunitas—melalui jaringan pengasuhan kolektif, komunitas keagamaan, hingga solidaritas informal.

Justru dari dapur dan teras rumah, perempuan pesisir menjalankan perlawanan terhadap perubahan iklim dengan cara mereka sendiri—diam, namun tak kalah kuat dari gelombang.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved