Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Demokrasi 'COD'

Fakta persidangan  itu menunjukkan adanya praktek menyimpang dalam pengusungan calon kepala daerah, yakni; “uang mahar”.  

Editor: Sudirman
Ist
KLAKSON - Abdul Karim Ketua Dewas LAPAR Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora 

Oleh; Abdul Karim 

Ketua Lakpesdam NU Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Terdakwa kasus uang palsu, Annar Salahuddin Sampetoding, mengaku gagal mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Selatan lantaran tak sanggup membayar mahar partai politik sebesar Rp 100 miliar lebih.

Pengakuan itu disampaikan dalam sidang lanjutan kasus uang palsu yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Rabu (23/7/2025).

Fakta persidangan  itu menunjukkan adanya praktek menyimpang dalam pengusungan calon kepala daerah, yakni; “uang mahar”.  

Tetapi praktek uang mahar seperti ini tak pernah dianggap sebagai problem hukum, tak dipandang sebagai kecacatan konstitusi. 

Padahal, UU nomor 10 tahun 2016 yang mengatur ketentuan Pilkada nyata melarang praktek uang mahar itu, terutama pada pasal 187 B.

Ketentuan ini tidak viral, atau mungkin tak diviralkan. Tetapi, pengakuan Anhar Sampetoding itu menandakan viralnya praktek uang mahar itu diruang terbatas. Inilah “demokrasi COD”.

Praktek demokrasi kita hingga kini memang pantas disebut “demokrasi COD”, demokrasi dengan sistem bayar ditempat (Cash on Delivery).

Demokrasi COD seolah mengukuhkan ungkapan liar yang sejak lama viral; “tak ada yang gratis dijaman ini”. Masuk toilet saja harus bayar ditempat. 

Tetapi demokrasi bukan toilet. Demokrasi bukan pembuangan himpunan najis dan tinja busuk yang menjijikkan. Demokrasi bukan tempat melekatnya bau pesing yang membuat kepala pusing.

Demokrasi adalah ruang bersemainya perencanaan, perbaikan , penataan, perdebatan dan pengerjaan amanah kedaulatan yang bertanggungjawab. 

Namun ingatan kita pada pengakuan Anhar Sampetoding justeru memaksa hidung kita membaui demokrasi bak toilet yang busuk.

Tak cukup menghadapinya hanya dengan menutup hidung. Sebab praktek “demokrasi COD” semakin tak terkontrol. 

Pada moment-moment tertentu “demokrasi COD” memang menjadi praktek mainstream. Pada pemilu, uang dibahas oleh kaum terbatas dilevel atas.

Namun dilevel bawah, uang dibagi tanpa bunyi. Bagi yang terendus, dianggap  rezeki tak memihak. Disini, logika rezeki yang umum dipakai dalam bahasa agama dimanipulasi penggunaannya dalam  pengamalan “demokrasi COD”. 

Pada pilkada, uang dibahas sebagai alat pencalonan yang identik jual beli sebagaimana pengakuan Anhar Sampetoding itu.

Kita menangkap kesan “ada uang, ada kendaraan”. Tanpa uang, mustahil kendaraan. Tak boleh hanya dengan ucapan “terima kasih”.

Sama halnya ketika kita hendak memesan  kendaraan transportasi on line—mutlak memerlukan uang, entah itu pembayarannya tunai, entah itu pelunasannya COD.

Bukan “terima kasih”. Sebab dalam politik, “terima kasih” difungsikan seusai menabur janji dan harapan. 

Harapan? Kita tak boleh  menggantungkan politik pada harapan.

Sebab menggantungkan politik pada harapan haruslah  diingat bila harapan selalu sirnah sebelum tindakan. Itulah sebabnya, harapan tak pernah jelas, ia selalu samar. 

Yang tak pernah samar dalam politik tetapi senantiasa disamarkan ialah uang. Ia dapat melipat gandakan dukungan. Ia pula mampu mengubah dukungan.

Sebagai sesuatu yang disamarkan, fungsinya tak samar, sebab uang mampu mengubah apa saja. Ia dapat mengubah “yang benar” menjadi “yang salah”, atau sebaliknya. 

Pencitraan-pemenangan dapat dibangun dengan uang. Disini, “demokrasi COD” menjadi praktek pokok menempuh jalan pintas; sebuah jalan yang mampu membersihkan sosok yang sebenarnya kotor.

“Demokrasi COD” disini, mampu pula mengubah kesan ketidak layakan menjadi kesan “layak” untuk urusan kepemimpinan. Yang negatif dapat di positifkan. Maka kita merayakan demokrasi imitasi yang penuh sandiwara. 

Tantangan serius demokrasi kita adalah meluasnya praktek “demokrasi COD” itu. Ia merusak demokrasi.

Demokrasi yang rusak, jelaslah merusak negara. Negara yang rusak, tentu berdampak pada rusaknya pranata kerakyatan—yang berarti rusaknya rakyat pula.

Dan itulah sebabnya, hingga kini, demokrasi yang responsif dan bertanggungjawab di negeri ini belum terwujud. 

Maka tugas berat demokrasi adalah mensucikan dirinya ditengah kerumunan dosa kotor praktik “demokrasi COD”.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved