Klakson
Putusan 135 MK
Lalu amar putusan MK yang meleraikan pemilu nasional dan lokal dianggap melanggar konstitusi negara.
Oleh; Abdul Karim
Ketua Lakpesdam NU Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Putusan hakim MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam perkara 135/PUU-XXII/2024 pada 26 Juni lalu mengundang kegelisahan pada sebagian kalangan.
Lalu amar putusan MK yang meleraikan pemilu nasional dan lokal dianggap melanggar konstitusi negara.
Orang-orang lalu meneriaki MK. Kontroversi bergulir, MK disebut berlebihan, padahal kita yang sebenarnya kekuarangan penalaran merespon putusan MK tanpa melihat argumentasi hukum MK membunyikan amar putusannya.
Kita fokus pada amar putusan itu tanpa menangkap makna nalar hukum yang dikonstruk hakim MK dalam melahirkan putusan itu.
Tentulah tak salah, tetapi respon seperti itu berpotensi memunculkan pemaknaan keliru.
Karena itu, membaca putusan MK 135/PUU-XXII/2024 jangan sepotong-sepotong. Nalar hukum yang mendasari putusan itu haruslah dibaca pula.
Mari kita menalar argumentasi hakim MK terkait pemisahan keserentakan pemilu nasional dan lokal.
Pertama, berdekatannya masa pemilu nasional dan pilkada berimplikasi pada menggunungnya beban kerja penyelenggara pemilu.
Beban kerja yang berlebihan itu, selain mengerdilkan substansi pemilu, juga mengorbankan penyelenggara pemilu.
Karena tugas yang padat, substansi pemilu sebagai sarana mewujudkan kedaulatan rakyat berjalan semrawut.
Pengkajian adminisitrasi kepemiluan para kontestan yang menumpuk seringkali terlewatkan lantaran ringkasnya masa pencermatan penyelenggara.
Belum lagi, masa gugatan pelanggaran pemilu yang begitu ringkas.
Masa ringkas itu tentu merepotkan penyelenggara dalam memberi putusan berkualitas terhadap gugatan dugaan pelanggaran pemilu. Disini integritas penyelenggara pemilu berpeluang tercoreng.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.