Headline Tribun Timur
Tak Mesti Dipanggil Haji
Haji tak lagi identik dengan usia senja. Di Sulsel, anak muda mulai menapaki jejak Nabi ke Tanah Suci sejak usia 20-an tahun.
Sejak lulus dari SMA Negeri 5 Luwu, ia memutuskan untuk tidak kuliah, memilih untuk membantu usaha keluarga di pasar Bajo.
Toko emas milik orang tuanya hanya buka dua kali seminggu, setiap Selasa dan Sabtu.
Dari toko kecil itulah Fiko menyerap pelajaran tentang kerja keras dan keikhlasan.
Menjelang keberangkatan, Fiko menunjukkan kesungguhan luar biasa.
Ia rajin mengikuti bimbingan manasik, menghafal doa-doa, memahami rukun dan larangan selama ihram.
Semua ia lakukan dengan penuh ketulusan dan kedisiplinan.
Kini, sepulang dari Tanah Suci, ia menyimpan kenangan luar biasa, berhaji bersama sang ibu dan kakaknya.
Meskipun ia sesekali membagikan momen berharganya melalui media sosial, Fiko memastikan bahwa fokus utama adalah ibadah.
Baginya, gelar ‘Haji’ bukanlah sebuah status sosial yang harus dipamerkan.
Ia dan Sultan tak mempermasalahkan jika orang-orang memanggil mereka tanpa embel-embel apa pun.
Dari Bone, kisah serupa datang dari Mirna Baharuddin.
Di usianya yang ke-31, ia telah menjalani ibadah haji yang dirintis sejak umur 16 tahun.
Ia berangkat bersama orang tua, tergabung dalam Kloter 9 Embarkasi Makassar.
Meski masih muda, Mirna menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah dengan baik, bahkan tetap semangat membagikan ceritanya kepada teman-teman di media sosial.
“Banyak yang kaget saya bisa haji di usia segini,” tuturnya. Pulang ke tanah air, ia merasakan haru dan syukur yang mendalam. Ia bahkan memendam harapan untuk kembali ke Tanah Suci di masa depan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.