Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kampus dan Kekerasan Seksual

Kampus adalah cahaya bagi masyarakat. Kampus bukan sekadar tempat mencari dan menumpuk gelar.

Editor: Muh Hasim Arfah
Dok Yunasri Ridhoh
M. Yunasri Ridhoh (Peneliti VVRC/Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Makassar) 

Lebih mencengangkan lagi, terdapat 791 kasus dimana pelakunya  berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, sebagian besar malah berasal dari profesi yang seharusnya menjadi benteng integritas: dosen, guru, bahkan tokoh agama. 

Ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak selalu melahirkan kearifan dan keadaban—ia bisa saja dijadikan alat justifikasi atau topeng untuk menyembunyikan kebusukan moralnya. Sehingga mereka menggunakan kepintaran dan otoritas akademiknya untuk memanipulasi dan menindas.

Dengan demikian relasi akademik akan hadir dalam wajah penghormatan, bukan dominasi; pada kebijaksanaan, bukan kekuasaan.

Budaya Permisif, Normalisasi dan Fenomena Gunung Es

Mengapa kekerasan seksual di perguruan tinggi terus terjadi? Salah satu jawabannya adalah budaya permisif yang menormalisasi atau mewajarkan tindakan tersebut. Kampus sering kali memilih diam atau membungkam kasus-kasus pelecehan dengan dalih menjaga nama baik institusi. 

Mahasiswa yang berani melapor kerap menghadapi reviktimisasi—dihakimi, diragukan, bahkan dikucilkan. Sementara itu, pelaku justru mendapatkan perlindungan institusional, dengan sanksi yang ringan atau sekadar mutasi jabatan.

Kekerasan seksual di perguruan tinggi bukan sekadar problem personal, tetapi problem kultural dan struktural. Dalam banyak kasus, ketika pelecehan terjadi, sering kali respons yang muncul adalah pengabaian atau bahkan pembelaan terhadap pelaku. Kekerasan dijustifikasi sebagai “kesalahpahaman,” korban dipaksa untuk “memahami” situasi, dan institusi memilih untuk “menjaga nama baik.”

Fenomena ini semakin diperparah oleh normalisasi kekerasan dalam interaksi akademik. Gestur seksis, candaan berbau seksual, atau komentar merendahkan dianggap lumrah dan tidak berbahaya, padahal ia adalah bibit yang akan semakin mengakar dalam budaya akademik. 

Seiring waktu, batas antara “sekadar bercanda” dan “pelecehan” menjadi kabur, sehingga memungkinkan tindakan kekerasan seksual berkembang tanpa konsekuensi dan efek jera.

Data kekerasan berbasis gender yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa ranah personal menjadi dominasi terbesar dengan 279.503 kasus, sementara ranah publik mengalami peningkatan 44 persen dalam satu tahun.

Namun, angka ini hanyalah puncak dari fenomena gunung es—banyak kasus yang tidak terlaporkan karena ketakutan korban terhadap dampak sosial dan akademik. Yang tercatat dalam laporan hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang lebih besar. 

Korban umumnya memilih diam, tidak melapor, atau bahkan dipaksa untuk tetap bungkam oleh tekanan sosial dan akademik. Data yang ada hanyalah puncak dari ketidakadilan yang lebih luas, yang tertanam dalam sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada korban.

Di lingkungan akademik, korban umumnya memilih diam karena pelaku memiliki posisi yang lebih kuat, baik secara struktural maupun kultural. Tidak sedikit pula yang mengalami tekanan psikologis akibat stigma dan intimidasi. 

Sehingga kampus tidak hanya menjadi tempat menanam ilmu, tetapi juga menumbuhkan kemanusiaan.

Jalan Terjal Menuju Kampus Bebas Kekerasan

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Merdekakah Kita? 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved