Opini
Kampus dan Kekerasan Seksual
Kampus adalah cahaya bagi masyarakat. Kampus bukan sekadar tempat mencari dan menumpuk gelar.
M. Yunasri Ridhoh (Peneliti VVRC/Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Makassar)
TRIBUN-TIMUR.COM- Di sebuah ruang kelas, seorang dosen membuka perkuliahan dengan sebuah pertanyaan, "Apa makna kampus bagi kalian?" Sejenak, suasana menjadi hening.
Mahasiswa merenung.
Ada yang kemudian menjawab, kampus adalah tempat menimba ilmu, ada juga yang menyahut kampus adalah tempat mengasah keterampilan, membangun relasi dan meraih masa depan.
Namun, benarkah hanya itu?
Driyarkara, seorang pemikir besar indonesia pernah berkata, "Kampus adalah cahaya bagi masyarakat." Kampus bukan sekadar tempat mencari dan menumpuk gelar, tetapi yang terpenting ialah ruang di mana manusia dibentuk agar memiliki logos (akal budi), ethos (moralitas), dan pathos (kepedulian). Pendidikan tinggi, katanya, harus mencerdaskan dan sekaligus membangun manusia yang utuh—yang tak hanya pintar, tetapi juga peduli dan beretika.
Karena itulah kampus sering kali digambarkan sebagai kawah candradimuka bagi para inteligensia, sebuah persada tempat ilmu pengetahuan bersemayam, kearifan ditumbuhkan, dan karakter ditempa dalam bara keberanian.
Di sanalah, di antara lorong-lorong akademia dan ruang-ruang dialektika, para pembelajar tidak sekadar menghafal konsep, merumuskan angka-angka statatistik, tetapi juga melatih kebijaksanaan, merawat etika, dan merajut tanggung jawab sosial.
Namun, problemnya, di tengah gemuruh idealisme yang digaungkan tersebut, terselip kisah-kisah ironis yang memilukan dan memalukan. Kampus ternyata tidak semulia itu, disana juga tersimpan berbagai praktik busuk yang mereduksi wibawa akademik, tapi seolah-olah suci karena bersembunyi di balik topeng akademik.
Kasus pelecehan seksual oleh dosen di berbagai kampus, seperti di UNNES, UNHAS, dan yang terbaru di Universitas Negeri Makassar (UNM) hanyalah serpihan kecil dari fenomena gunung es kekerasan seksual.
Relasi Kuasa
Sebagai menara kearifan, kampus semestinya menjadi arena di mana relasi kemanusiaan dan sikap ilmiah menjadi budaya dan prinsip utama. Sayangnya dalam kenyataan ia justru menjadi ruang yang meneguhkan hierarki kuasa.
Dosen, dengan otoritas akademiknya, seperti memiliki kendali atas masa depan mahasiswa—nilai, rekomendasi, hingga akses terhadap peluang akademik dan profesional.
Relasi kuasa ini menjadikan mahasiswa rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan, termasuk diantaranya pelecehan verbal hingga pemaksaan seksual.
Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa mayoritas korban kekerasan seksual berasal dari lingkungan pendidikan menengah dan tinggi, dengan angka yang tidak dapat diabaikan: 892 kasus di perguruan tinggi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.