Opini
Degradasi Posisi Seniman Makassar
Sepanjang sejarah kebudayaan dan peradaban yang bisa kita pelajari dari zaman ke zaman membuktikan hal itu.
Melalui kasus Rachman Arge sebagai figur kaum seniman, Prof. Sofyan Salam menyatakan peranan Rachman Arge bukan
hanya dalam dunia kesenian tapi juga peranannya dalam politik Golkar di Sulsel khususnya di Makassar.
Yang paling menarik dari refleksi historis Prof. Sofyan Salam dalam diskusi melalui WA, bahwa peranan Rachman Arge yang membuat Gubernur dan khususnya Waalikota Patompo, menjadi begitu dekat.
Kedekatan tentunya bukan sekedar adanya jalinan politik tapi dibalik itu ada kandungan lain: Rachman Arge sebagai pemikir kebudayaan menjadi icon dan jurubicara dalam perbincangan kesenian dan kebudayaan dari wilayah Sulsel.
Dalam kaitan itu Walkot Patompo yang memiliki kesadaran politik kebudayaan menangkapnya sebagai “partner dialog”
yang disadarinya bahwa Rachman Arge bisa membawa dan mengangkat nama Makassar melalui dunia kesenian.
Dinamika pergaulan formal dan informal itu terwujud melalui praktek politik kebudayaan yang diterapkan oleh Patompo.
Dari situlah kenapa Makassar menjadi moncer dalam kehidupan kesenian.
Pada kasus yang lain yang juga merupakan refleksi historis Prof. Sofyan Salam tentang relasi yang kuat antara Gubernur Palaguna dengan budayawan Prof. Fahruddin Ambo Enre.
Sang Gubernur yang secara psikologis merasa menjadi “adik” budayawan yang pernah mendirikan Yayasan Kebudayaan Sulsel sebagai ruang percaturan dan praktek khasanah tradisi, sangat dihormatinya sebagai figur yang memberikan kontribusi kepada arah kehidupan kesenian.
Relasi yang juga bersifat personal antara Gubernur Palaguna dengan budayawan Prof. Fahruddin Ambo Enre namun lebih kuat kepada suatu kerangka kepentingan mewujudkan gagasan dan praktek politik kebudayaan untuk mengangkat wilayah Sulsel dalam percaturan kebudayaan di Indonesia.
Sejarah bisa menjadi cermin bagi siapa saja untuk mengetahui dan memahami apa makna dari lintasan waktu yang telah lalu.
Yang lampau tak pernah mati, dan akan selalu hidup dalam pemikiran yang selalu diusung oleh mereka yang mengingat memori sosial yang otentik tentang peristiwa yang lampau sebagai khasanah yang pernah mengisi kehidupan warga dan masyarakat di Sulsel.
Maka dua kasus dari kaum elite yang telah menjadi bagian sejarah itu patut kita ingat, bahkan sangat wajib kita renungkan dalam kaitannya dengan praktek politik kebudayaan pada periode Gubernur belakangan ini.
Pertanyaan kita sekarang, kenapa penguasa lokal tak lagi memiliki rasa rikuh, rasa hormat kepada kaum seniman?
Kenapa gagasan kaum seniman hanya dianggap sebagai pelengkap penderita dalam kaitannya dengan politik kebudayaan?
Dan kenapa pula politisi dan Partai Golkar yang dahulu pernah menjadikan kesenian dan kebudayaan sebagai pelatuk strategis dalam pengembangan wilayah dan citra pembangunan Sulsel selalu mengaitkan dunia kesenian.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.