Opini Tribun Timur
Suara yang Mengikat Diri Menjadi Teks
Jarak inilah yang memungkinkan munculnya refleksi, logika, dan abstraksi kemampuan yang sulit tumbuh dalam budaya lisan murni.
Oleh: Rahmat Hidayat
Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Buku Kelisanan dan Keaksaraan (Orality and Literacy) karya Walter J. Ong adalah salah satu karya teoretis yang paling tajam dalam membaca perubahan besar dalam pengalaman manusia.
Bukan hanya karena ia membahas perpindahan dari budaya lisan ke budaya tulis, tetapi karena Ong mampu menunjukkan bagaimana perubahan medium komunikasi pada akhirnya membentuk ulang struktur kesadaran manusia.
Lewat analisisnya yang mendalam, Ong memperlihatkan bahwa sejarah bahasa sesungguhnya adalah sejarah cara manusia memahami dunia. Dan pada titik ini, tulisan bukan lagi sekadar alat, melainkan sebuah lompatan peradaban.
Ong menegaskan bahwa tulisan adalah revolusi mental. Dengan menulis, manusia tidak hanya menyimpan informasi, tetapi juga menciptakan jarak antara dirinya dan dunia yang hendak dipahaminya.
Jarak inilah yang memungkinkan munculnya refleksi, logika, dan abstraksi kemampuan yang sulit tumbuh dalam budaya lisan murni.
Tulisan membantu manusia menyusun gagasan secara lebih sistematis, menimbang hubungan sebab akibat, dan menyusun argumen yang dapat dibaca siapa pun di mana pun tanpa kehadiran penuturnya.
Dengan kata lain, tulisan membangun ruang berpikir yang lebih tenang namun lebih tajam. Tetapi dalam ketenangan itulah juga lahir kesadaran baru bahwa kesadaran diri akan terpisah dari orang lain.
Dalam bagian awal bukunya, Ong memperkenalkan konsep “kelisanan primer” bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan dan sepenuhnya bergantung pada ujaran lisan.
Dalam masyarakat seperti ini, kata-kata memiliki kekuatan performatif yang sangat besar. Kata bukan sekadar bunyi, ia adalah tindakan sekaligus pengikat identitas kolektif.
Di dunia lisan, seseorang tidak hanya mengucapkan kenyataan, tetapi juga menghadirkannya.
Cerita rakyat, pepatah, syair, hingga mitos menjadi sarana utama untuk menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai. Penyampaian dilakukan dari mulut ke mulut, dan dalam konteks itu, suara menjadi ruang hidup bagi tradisi.
Budaya lisan sangat bergantung pada memori. Tanpa tulisan sebagai penampung, manusia harus mengembangkan teknik pengingat pengulangan, irama, formula naratif.
Dalam tradisi Nusantara, hal ini sangat terlihat pada pantun, syair, atau lakon wayang yang dibentuk dalam pola berulang. Bukan hanya untuk estetika, melainkan untuk menjaga agar pengetahuan kolektif tidak hilang di tengah aliran waktu.
| Meningkatkan Mutu, Bertransformasi, dan Berkolaborasi untuk Pendidikan Tinggi yang Berdampak |
|
|---|
| PMO dan Arah Baru Kebangkitan Koperasi Desa Kelurahan Merah Putih |
|
|---|
| Surat untuk Presiden Prabowo: Bapak akan Tersenyum di Hadapan Tuhan Bersama Semua Pahlawan itu |
|
|---|
| Opini Kemandirian Pangan: Menakar peran Strategis Peternakan |
|
|---|
| Ketidakadilan Pemantik Kericuhan Sosial |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-19-Rahmat-Hidayat.jpg)