Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Reorientasi Makna Pendidikan di Era Digital, Saatnya Pembelajaran Berpihak pada Manusia

apakah pendidikan kita semakin memanusiakan manusia, atau justru menjadikan siswa sekadar objek dari sistem yang serba mekanis dan berorientasi hasil?

Editor: Muh. Abdiwan
TRIBUN-TIMUR.COM/MUHAMMAD ABDIWAN
Hijrah Basri - Mahasiswa Pasca Sarjana. Universitas Muhammadiyah Malang 

Oleh : Hijrah Basri

Mahasiswa Pasca Sarjana. Universitas Muhammadiyah Malang

TRIBUN-TIMUR.COM - Transformasi digital di dunia pendidikan menjadi fenomena yang tak terelakkan. Sejak pandemi COVID-19, ruang-ruang belajar berubah menjadi layar-layar digital yang mempertemukan guru dan siswa tanpa batas ruang dan waktu. Pemerintah Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar mendorong lahirnya inovasi pembelajaran berbasis teknologi di berbagai jenjang pendidikan. Namun di balik kemajuan tersebut, muncul realitas yang perlu direfleksikan: apakah pendidikan kita semakin memanusiakan manusia, atau justru menjadikan siswa sekadar objek dari sistem yang serba mekanis dan berorientasi hasil?

Di lapangan, banyak guru menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka dituntut menguasai teknologi dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran. Di sisi lain, tekanan administratif dan keterbatasan infrastruktur membuat proses belajar kehilangan sentuhan personal. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2023) menunjukkan bahwa 94 persen siswa Indonesia kini mengakses internet setiap hari, namun hanya 38 % yang menggunakannya untuk kegiatan belajar terarah. Fakta ini menunjukkan bahwa digitalisasi belum otomatis bermakna sebagai transformasi kualitas belajar. Pendidikan berisiko kehilangan ruh kemanusiaan jika tidak diimbangi dengan kesadaran reflektif dan pendekatan yang humanis. 

Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial (KA) bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan dalam dunia pendidikan modern. Integrasi Koding dan KA dalam pendidikan tidak hanya untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan penyelesaian masalah, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan esensial yang mencakup berpikir komputasional, analisis data, algoritma pemrograman, etika KA, human-centered mindset, design system KA, dan teknik KA. Berpikir komputasional mengajarkan peserta didik untuk menyelesaikan masalah secara sistematis dan efisien dengan melakukan proses dekomposisi (memecah masalah besar menjadi bagian kecil), dan pengenalan pola, abstraksi, serta algoritma yang membantu peserta didik memahami dan menangani tantangan digital. 

Dengan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan berkeadilan, pendidikan di Indonesia diharapkan tidak hanya mampu mencetak generasi yang berdaya saing tinggi, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal dalam memperoleh akses pendidikan berkualitas. Pembelajaran Koding dan KA dirancang untuk memberikan dampak positif kepada peserta didik, seperti kemampuan berpikir logis dan analitis. Kedua bidang tersebut diharapkan tidak hanya menumbuhkan keterampilan dalam menyelesaikan persoalan dan kesiapan dalam pemanfaatan teknologi, tetapi juga mengembangkan pemahaman mendalam mengenai tanggung jawab etis.

Pendidikan Bukan Sekadar Transfer Pengetahuan

Makna pendidikan sering kali direduksi menjadi sekadar aktivitas mengajar dan menguji. Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Freire (1970), pendidikan sejati adalah proses pembebasan manusia dari kebodohan dan penindasan. Dalam kerangka ini, pembelajaran tidak hanya bertujuan mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga mengasah empati, refleksi, dan kesadaran kritis. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih terlalu menekankan aspek kognitif melalui ujian dan penilaian numerik, sementara dimensi afektif dan sosial kurang mendapat ruang.

Era digital seharusnya menghadirkan peluang baru untuk memperluas makna belajar. Teknologi dapat menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kolaboratif, jika digunakan secara tepat. Misalnya, pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) memungkinkan siswa untuk menyelidiki masalah nyata di lingkungan mereka, menggabungkan data digital dengan pengalaman lapangan, dan menghasilkan solusi kreatif. Pendekatan ini lebih bermakna dibandingkan sekadar menghafal teori dari buku teks digital.

Urgensi integrasi Koding dan KA dalam pendidikan makin meningkat seiring dengan perkembangan Industri 4.0 dan 5.0, yang menuntut sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan digital yang kuat. Tanpa literasi digital dan kemampuan di bidang teknologi digital yang memadai, generasi muda akan menghadapi kesulitan dalam bersaing di dunia kerja yang makin berbasis teknologi. Oleh karena itu, integrasi Koding dan KA dalam kurikulum sekolah bukan sekadar inovasi, melainkan kebutuhan fundamental dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan adaptif terhadap perubahan zaman. 

Pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga banga Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga produsen inovasi yang mampu bersaing di tingkat global. Pembelajaran koding dan KA tidak hanya meningkatkan literasi digital, tetapi juga membangun keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan pemecahan masalah—keterampilan esensial dalam dunia yang terus berubah. 

Pendidikan yang bermutu harus memberikan kesempatan bagi semua peserta didik, baik di perkotaan maupun di daerah terpencil, untuk memahami prinsip dasar teknologi dan menggunakannya sebagai alat pemberdayaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga dapat berperan sebagai inovator yang menciptakan solusi bagi tantangan di sekitar mereka.

Kebijakan Merdeka Belajar: Peluang dan Tantangan

Kebijakan Merdeka Belajar yang digagas pemerintah merupakan langkah progresif dalam mengembalikan kebebasan dan otonomi pendidikan. Guru diberi keleluasaan untuk merancang pembelajaran sesuai konteks sekolah dan karakter siswa. Kurikulum Merdeka bahkan menekankan pentingnya pembelajaran berdiferensiasi dan asesmen formatif yang menekankan proses, bukan hanya hasil.

Konsep Merdeka Belajar sejatinya lahir dari semangat pembebasanpembebasan guru dan siswa dari sistem pendidikan yang kaku, birokratis, dan mengekang daya cipta. Namun, di banyak sekolah, semangat itu seolah teredam di balik tumpukan dokumen dan laporan yang menuntut angka-angka capaian. Implementasi Merdeka Belajar di lapangan masih sering disalahartikan sebagai sekadar perubahan format administrasi, bukan transformasi paradigma berpikir.

Halaman 1/2
Tags
Opini
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved