Opini
Degradasi Posisi Seniman Makassar
Sepanjang sejarah kebudayaan dan peradaban yang bisa kita pelajari dari zaman ke zaman membuktikan hal itu.
Kini hanya menganggap sebagai embel-embel dari acara seremonial yang bersifat turistik?
Marilah kita renungkan kenapa pula Dewan Kesenian Sulsel (DKSS) dan Dewan Kesenian Makassar (DKM) tak memiliki suara kritis kepada kebijakan penguasa lokal yang sewenang wenang kepada khasanah tradisi?
Kenapa pula ketika Majelis To Manurung menyatakan deklarasi sementara DKSS dan DKM hanya berdiam diri?
Dalam konteks inilah saya bersepakat dengan refleksi historis Prof. Sofyan Salam, bahwa posisi figur yang memiliki bobot pemikiran dan mampu menciptakan relasi politik dan bisa menciptakan kondisi kondusif yang ikut menentukan arah politik kebudayaan di Sulsel dan Makassar.
Jika perspektif dan analisa tentang figur ini kita sodorkan kepada posisi DKSS dan DKM, maka konklusi yang kita dapatkan bahwa pengelola kedua lembaga kesenian itu tak lagi sahih dalam pemikiran, dan tak juga memiliki keberanian moral untuk menyatakan diri.
Belasan tahun terakhir posisi DKSS dan DKM sebagai lembaga perwakilan kesenian, nampaknya menjadi sumbu awal dari degradasi posisi kaum seniman, ketika elite pengelola kota dan daerah tak lagi memiliki rasa rikuh kepada kaum seniman.
Bahkan kepala dinas suatu instansi bisa saja tak peduli kepada gagasaan dan konsep kaum seniman yang dianggapnya hanya nyinyir sambil menyodorkan proposal.
Saatnya kini kaum seniman membangkitkan dirinya dalam kaitannya dengan marwah dan mertabat kesenian dan kebudayaan di Sulsel melalui praktek politik kebudayaan menjelang pilkada.
Kaum seniman harus memiliki bargaining position. Dan hal itu hanya bisa dilakukan jika kaum seniman memiliki rasa hormat dan keberanian moral serta pemikiran visioner kepada khasanah tradisi yang telah menghidupi dirinya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.