Opini
Idealisme versus Pragmatisme
Kubu yang pertama menganggap bahwa bagaimanapun juga tetap akan kalah dan itu hanya akan membuang-buang waktu, dana dan tenaga.
Sesungguhnya polarisasi yang terjadi pasca rekapitulasi, itu bagian dari lahirnya dua kubu yang berhadap-hadapan yaitu kubu yang menjunjung tinggi idealisme, dimana hasil, bukan yang menjadi tujuan utama, akan tetapi bagaimana proses kemenangan itu bisa diperoleh.
Kubu ini konsisten pada keinginan untuk melaksanakan pemilu yang adil, jujur dan bermartabat.
Pasangan Anis, demikian juga Ganjar meyakini bahwa pelaksanaan pemilu tahun 2024 ini banyak sekali pelanggaran dan karena itu perlu di evaluasi bahkan di bawah ke ranah pengadilan.
Sementara itu kubu yang berpikir pragmatisme, tidak terlalu mempersoalkan proses, yang penting tujuan tercapai.
Kubu ini, bukan saja didominasi oleh Pasangan Prabowo – Gibran, akan tetapi juga sebagian dari kalangan Anis, sebut saja Surya Paloh dan Partai Nasdem serta belakangan PPP yang sedang dibujuk untuk bergabung di dalam koalisi Prabowo-Gibran, dengan konsesi politik akan dibantu di Mahkamah Konstitusi agar para calon legislatifnya masuk ke Senayan.
Pragmatisme yang dipertontonkan oleh elit politik di atas, mengingatkan kita pada Professor Ng Aik Kwang dari University of Queensland Australia.
Dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001), beliau mengemukakan bahwa orang Asia pada umumnya dalam budaya mereka beranggapan bahwa ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lainnya).
Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan lebih banyak.
Buku yang sempat bestsellers dimasanya ini memuat banyak mengenai perbedaan antara Easteners dan Westerners.
Menurutnya dua komunitas ini jauh berbeda, baik dari segi lifestyle, edukasi, maupun pola pikir.
Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut.
Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu.
Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Apa yang digambarkan oleh Professor Ng Aik Kwang, terasa mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Meskipun Ng Aik Kwang menyebut secara keseluruhan orang Asia, tetapi nampak mirip bahwa ukuran sukses dalam hidup sebagian orang Indonesia adalah banyaknya materi dan mereka tidak peduli tentang proses darimana harta itu diperoleh.
Dengan demikian wajar jika upaya untuk memperoleh harta, pangkat, jabatan dan sebagainya dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar, mereka tidak malu memberi dan menerima suap, manipulasi dan tindak pelanggaran lainnya.
Disamping itu kekuasaan bagi mereka bukan merupakan ladang untuk mengabdi kepada bangsa, tetapi tempat untuk meraup keuntungan dan kekayaan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.