Opini
Idealisme versus Pragmatisme
Kubu yang pertama menganggap bahwa bagaimanapun juga tetap akan kalah dan itu hanya akan membuang-buang waktu, dana dan tenaga.
Oleh: Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar/Penggiat Forum Dosen
Pasca Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI resmi mengumumkan hasil rekapitulasi Pemilu 2024.
Elit politik kubu Anies Baswedan (01) dan Ganjar Pranowo (03) kini terpola menjadi dua.
Ada yang secara terang-terangan menerima hasil rekapitulasi tersebut dan ada yang belum menerima karena masih berjuang menunggu proses dan hasil gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang kini sedang berlangsung.
Kubu yang pertama menganggap bahwa bagaimanapun juga tetap akan kalah dan itu hanya akan membuang-buang waktu, dana dan tenaga.
Sementara kubu yang kedua masih punya harapan bahwa hakim di Mahkamah Konstitusi masih bisa dipercaya dan profesional, sehingga bisa memenangkan gugatan di persidangan nanti.
Seperti diketahui bahwa tak lama berselang KPU-RI mengumumkan hasil rekapitulasi Pemilu 2024, yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka dengan perolehan suara 96.214.691 suara atau 58,59 persen.
Surya Paloh pun mengucapkan selamat kepada keduanya. Ucapan yang mengejutkan ini bukan saja isyarat bahwa pasangan Anis dan Ganjar kalah, akan tetapi juga indikasi bahwa akhirnya terjadi polarisasi diantara para pendukung 01 dan 03.
Bukan hanya itu bahkan tersiar berita bahwa Anis dan Ganjar akan ditinggalkan oleh elite dan partai pendukungnya, menyusul perolehan suara partai pendukungnya di pemilihan legislatif.
PDI-Perjuangan (PDIP) sebagai pendukung utama Ganjar menang dengan perolehan suara 25.387.279 atau 16,73 persen.
PKB 10,62 persen, Nasdem 9,31 persen, serta PKS 8,42 persen sebagai pendukung utama Anies Baswedan.
Persentase kemenangan partai pendukung pasangan Anies dan Ganjar di atas disebut-sebut bisa menggoda para elit pendukung atau bukan pendukung.
Dengan pertimbangan bahwa mumpun modal sudah di tangan karena sudah pasti lolos ke Senayan juga demi menjaga keharmonisan hubungan dengan pemerintah.
Siapa tau bisa juga mendapatkan jatah menteri dan yang tidak kalah pentingnya mengamankan bisnis mereka yang selama ini menjadi sumber keuangan diri, kelompok dan partainya.
Sesungguhnya polarisasi yang terjadi pasca rekapitulasi, itu bagian dari lahirnya dua kubu yang berhadap-hadapan yaitu kubu yang menjunjung tinggi idealisme, dimana hasil, bukan yang menjadi tujuan utama, akan tetapi bagaimana proses kemenangan itu bisa diperoleh.
Kubu ini konsisten pada keinginan untuk melaksanakan pemilu yang adil, jujur dan bermartabat.
Pasangan Anis, demikian juga Ganjar meyakini bahwa pelaksanaan pemilu tahun 2024 ini banyak sekali pelanggaran dan karena itu perlu di evaluasi bahkan di bawah ke ranah pengadilan.
Sementara itu kubu yang berpikir pragmatisme, tidak terlalu mempersoalkan proses, yang penting tujuan tercapai.
Kubu ini, bukan saja didominasi oleh Pasangan Prabowo – Gibran, akan tetapi juga sebagian dari kalangan Anis, sebut saja Surya Paloh dan Partai Nasdem serta belakangan PPP yang sedang dibujuk untuk bergabung di dalam koalisi Prabowo-Gibran, dengan konsesi politik akan dibantu di Mahkamah Konstitusi agar para calon legislatifnya masuk ke Senayan.
Pragmatisme yang dipertontonkan oleh elit politik di atas, mengingatkan kita pada Professor Ng Aik Kwang dari University of Queensland Australia.
Dalam bukunya “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” (2001), beliau mengemukakan bahwa orang Asia pada umumnya dalam budaya mereka beranggapan bahwa ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lainnya).
Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki kekayaan lebih banyak.
Buku yang sempat bestsellers dimasanya ini memuat banyak mengenai perbedaan antara Easteners dan Westerners.
Menurutnya dua komunitas ini jauh berbeda, baik dari segi lifestyle, edukasi, maupun pola pikir.
Bagi orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut.
Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu.
Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir atau diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Apa yang digambarkan oleh Professor Ng Aik Kwang, terasa mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Meskipun Ng Aik Kwang menyebut secara keseluruhan orang Asia, tetapi nampak mirip bahwa ukuran sukses dalam hidup sebagian orang Indonesia adalah banyaknya materi dan mereka tidak peduli tentang proses darimana harta itu diperoleh.
Dengan demikian wajar jika upaya untuk memperoleh harta, pangkat, jabatan dan sebagainya dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar, mereka tidak malu memberi dan menerima suap, manipulasi dan tindak pelanggaran lainnya.
Disamping itu kekuasaan bagi mereka bukan merupakan ladang untuk mengabdi kepada bangsa, tetapi tempat untuk meraup keuntungan dan kekayaan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.