Opini
Pemilu Bermartabat, Mungkinkah?
Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan harus menjadi tauladan, terutama dalam bingkai netralitas.
Etika Bernegara
Bernegara tanpa dinafasi etika yang berbasis pada aturan perundang-undangan hanyalah sebuah fatamorgana yang menyesatkan dalam merengkuh cita- cita berbangsa.
Negara tanpa etika berbasis perundang-undangan cenderung disebut sebagai negara yang tidak beradab atau tidak berkeadilan.
Etika dan perundang-undangan memainkan peran penting dalam membentuk tatanan sosial dan hukum suatu negara, terutama dalam proses politik pemilu di suatu negara.
Para ahli Politik dan hukum, seperti Barry R. Weingast, Bruce Ackerman, hingga Francis Fukuyama, telah mengingatkan tentang pentingnya rule of law berbingkai demokrasi, dan perlunya dasar etika dalam berkonstitusi untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi otoritarian yang legalistik melalui proses politik.
Betapa tidak, implementasi sistem konstitusi yang kuat sekali pun, tanpa dasar komitmen etika yang kuat, bisa membuka dan menawarkan celah bagi praktik otoritarian yang mendapatkan legitimasi melalui proses politik.
Olehnya itu, implementasi pemilu yang bermartabat berdasarkan konstitusi dengan memperhatikan nilai-nilai etika dan prinsip demokratis menjadi penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan perlindungan hak-hak masyarakat.
Dengan demikian, praktik pemilu bermartabat menjadi urgen saat ini.
Dalam pada itulah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan agar seluruh kontestan Pemilu 2024 untuk tidak mengedepankan pragmatisme politik dan hanya mementingkan kemenangan.
Proses pemilu yang serba pragmatis dan oportunistis bisa mengakibatkan pendangkalan politik.
Seluruh pemangku kepentingan pemilu diharapkan menciptakan pemilu yang bermartabat sehingga bisa melahirkan sosok negarawan.
”Kami tidak ingin pendangkalan politik dan disorientasi kenegaraan terjadi karena proses pemilu yang serba pragmatis, yang serba oportunistis, yang hanya mementingkan kemenangan,” ujar Haedar saat diskusi ”Refleksi Akhir Tahun (Kompas,29/12/2023).
Persoalan yang demikian potensial membelenggu penyelenggaraan pemilu kali ini adalah netralitas penyelenggara negara dan/atau aparatur negara, yang dicurigai oleh segenap komponen masyarakat kritis, mulai dari tingkat pusat, hingga pemerintahan di daerah.
Kondisi tersebut, sebegitu menyulitkan penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di semua level dalam menegakkan aturan pemilu.
NETRALITAS PRESIDEN
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.