Opini
Pemilu Bermartabat, Mungkinkah?
Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan harus menjadi tauladan, terutama dalam bingkai netralitas.
Pemilu Bermartabat Mungkinkah
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisip Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - PEMILU adalah ajang kontestasi untuk memimpin suatu bangsa. Ia merupakan proses politik dalam bernegara guna melahirkan sosok negarawan.
Melalui pemilu, para pasangan calon berkompetisi saling menguji dan memberikan kesempatan bagi calon-calon yang memiliki visi, integritas, dan komitmen dalam mempersembahkan yang terbaik bagi negara dan bangsanya.
Perilaku berkeadaban dan berkecerdasan serta komitmen bagi setiap pasangan calon presiden, menjadi hal yang wajib untuk diuji secara berkeadilan, oleh semua pihak, terutama oleh penyelenggara negara, khususnya penyelenggara pemilu itu sendiri.
Tetapi tak kalah lebih penting dari itu semua, adalah sejauh mana kepala negara atau Presiden bisa memfasilitasi, membingkai dan mengarahkan agar penyelenggara bisa menunaikan tugas penyelenggaraanya secara independen dan profesional yang dinafasi norma kenegaraan secara subtansial yang berlangsung sesuai mekanisme prosedural legalistik yang objektif dan menjunjung tinggi etika bernegara.
Karenanya Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan harus menjadi tauladan, terutama dalam bingkai netralitas.
Pakar politik konstitusi, Profesor Larry Diamond dalam: “The Spirit of Democracy: The Struggle to Build Free Societies Throughout the World”, 2008 telah mewanti-wanti tentang pentingnya Netralitas seorang Presiden dalam mengawal proses Pemilu dalam bernegara. Betapa tidak, karena netralitas seorang Presiden dalam penyelenggaraan pemilu menjadi hal yang sakral karena akan menjadi cermin perilaku bagi segenap aparatur kenegaraan dari level teratas, hingga ke level yang paling terbawah.
Karena itu, prinsip berkeadilan dan kebenaran yang harus tercermin dalam bentuk netralitas, menjadi kewajiban utama dan pertama yang harus dikedepankan bagi segenap penyelenggara negara, terutama kepala negara dan kepala pemerintahan (Presiden) tanpa di mulai dan dicontohkan oleh Presiden, maka Pemilu akan rentan dicederai melalui kuasa demi kekuasaan itu sendiri.
Itulah sebabnya para penguasa itu harus berbingkai aturan yang dijiwai etika guna memagari diri dalam merawat keadaban dalam bernegara.
Dalam pada itu, maka pemilu sebagai instrumen pokok dalam berdemokrasi harus berlangsung secara berkeadaban.
Tanpa itu, maka martabat suatu bangsa yang berkeadaban akan terhempas dicampakkan oleh pihak pemburu kekuasaan yang tak dinafasi oleh jiwa kenegaraan.
Alexis Dek Tocqueville (Democracy in Amerika, 1840) menyatakan pentingnya Pemilu yang fairness dalam melahirkan kepemimpinan yang responsif terhadap kehendak masyarakat.
Pemilu adalah mekanisme bagaimana mewujudkan kehendak masyarakat dalam pengelolaan negara melalui suatu pemerintahan bukan kehendak para politisi semata, apalagi dari sekumpulan pemburu kekuasaan demi pengabadian dan pemuncakan syahwat politik kekuasaan mereka, melalui pemilu.
Karenanya, pemilu harus dibingkai oleh aturan yang adil dan dinafasi oleh etika dalam bernegara.
Tanpa itu, pemilu hanya merupakan rangkaian prosedure kegiatan kenegaraan yang takkan mungkin bisa melahirkan negarawan yang menjadi penyangga utama kita kelak dalam bernegara.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.