Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Klakson

Ustadz 'Bekku'

Dan kita optimis, kepribadian, akhlak dan tindakan pelayanan sang ustadz pada ummat harus tetap menjadi teladan.

Editor: Hasriyani Latif
DOK TRIBUN TIMUR
Abdul Karim ketua Dewas LAPAR Sulsel. Abdul Karim penulis tetap rubrik Klakson Tribun Timur. 

Oleh:
Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel
Majelis Demokrasi dan Humaniora

TRIBUN-TIMUR.COM - Agama dengan ajaran-ajaran kebaikan yang dikandungnya sebenarnya bukan melulu soal aqidah teologi atau ketentuan-ketentuan tekhnis (fiqih) lainnya yang dipelajari hingga perguruan tinggi.

Tetapi agama adalah sebuah praktik keteladanan. Rasulullah SAW adalah teladan utama kita lantas pasca beliau para sahabatlah teladan itu.

Usai itu, muncul tabi’i tabi’in dan para imam mazhab dan seterusnya lantas kyai. Lalu teladan lain muncul ditengah masyarakat kita, yakni 'ustadz'.

Dari mana datangnya ustadz? Pada mulanya mereka datang dari dunia luar sekolah formal.

Mereka tumbuh dari pendidikan informal spesifik dengan bimbingan guru yang tergolong ulama/Anregurutta/Kyai.

Mereka mendalami ilmu agama, termasuk akhlak tanpa lelah, tanpa ijazah resmi. Lalu menularkannya ke masyarakat.

Selain itu, mereka tak semata menghafal hadits dan ayat-ayat suci dengan qiraat yang khas.

Tetapi gemblengan mental, moralitas, dan penataan hati tak pernah berhenti.

Dengan itu semua, mereka sebenarnya tak saja menyucikan agama, tetapi juga menyucikan diri, termasuk mengabdi/melayani ummat dianggap sebagai penyucian diri pula.

Lalu proses mereka melayani/mendidik warga tanpa lelah kemudian disebut “ustadz” oleh warga. Sapaan sebagai “ustadz” pada mulanya bukanlah sebutan titel sekolahan.

Bukan pemberian ijazah. Melainkan pengakuan khalayak, stempel kaum banyak, atau pengakuan ummat atas pelayanan ikhlas samg ustadz.

Apa yang diakui? Kedalaman ilmu agama, ketinggian tata krama, kemuliaan akhlak, moralitas yang baik hingga kepedulian dan keikhlasan mereka mendidik warga.

Tutur katanya mengesankan keadaban. Tawadhu’ mengabdi. Bahkan tak jarang, mereka dianggap agen keselamatan bagi warga sebab selain spirit pengabdian, mereka juga tempat rakyat berharap doa-doa kebaikan.

Mungkin saja karena itulah, para ustadz dizaman lampau senantiasa jadi teladan disegala medan.

Warga lalu terinspirasi mencontohnya, meneladaninya dengan mengutus putra-putrinya belajar agama di pondok-pondok pesantren.

Impiannya, kelak sang anak tumbuh bersosok “ustadz”. Dan kini, negeri ini surplus “ustadz” walau BPS luput mencatat populasinya.

Dan kita optimis, kepribadian, akhlak dan tindakan pelayanan sang ustadz pada ummat harus tetap menjadi teladan.

Aspek keteladanan inilah sebenarnya yang menjadi tantangan berat para ustadz, bagaimana mereka mengamalkan dalam laku hari-harinya segala ucapannya ditengah ummat.

Tersebutlah sebuah kisah, yakni kisah tentang seorang ustadz dai yang kondang hingga kecamatan sebelah.

Ia seorang alumni Sekolah Tinggi Agama Islam. Ilmu agamanya memang tak sedalam yang diidealkan.

Tetapi ia punya keterampilan berceramah dan khutbah yang tak tertandingi. Ketika diatas mimbar, ummat terpukau dengan ceramah-ceramahnya yang menggugah, mendidik, hingga melucu.

Ummat yang menyimak ceramahnya, larut dalam irama keseriusan dan kejenakaan. Maka ummat tak bosan-bosan mendengarkannya.

Apalagi, ceramahnya teduh. Tak pernah sekalipun ia mengahrdik kaum lain dalam ceramahnya. Ia tak pernah mengkafirkan kaum lain. Ia ceramah tanpa kesan kebencian pada yang lain.

Diluar bulan ramadhan, jadwal khutbah Jum’at full setiap bulan. Bila bulan puasa, ia tak pernah puasa ceramah. Pengurus masjid di dua kecamatan memperebutkannya.

Dengan kendaraan roda duanya, ia berkeliling dari masjid ke masjid berceramah. Dan ia lakukan itu dengan penuh keikhlasan, tanpa mengharap banyak amplop tebal.

Mungkin dengan itulah, berkah selalu menghampirinya. Hidupnya tak pernah krisis. Tiga orang anaknya, menempuh pendidikan sebagaimana anak kebanyakan. Bahkan, si sulung sementara menimba ilmu di perguruan tinggi.

Sang ustadz punya hoby tersendiri. Ia penyayang burung. Di teras rumah kayunya, bergelantungan beberapa ekor burung perkutut (dalam bahasa bugis, disebut “bekku”).

Ia rawat burung perkutut itu dengan penuh kasih sayang. Setiap pagi, sepulang sholat subuh di masjid, ia beri makan burung-burung perkututnya.

Usai duhur dan jelang magrib, ia hampiri lagi perkututnya. Wajar saja bila anak-istrinya menyapanya dengan guyon “ustadz bekku”.

Tetapi ujian keteladanan sang ustadz tiba disuatu hari. Saat itu, baru saja ia berceramah dimasjid kampungnya usai solat subuh. Saat tiba dirumahnya, ia memanggil istri dan dua orang anaknya yang beranjak dewasa.

“Mana burung perkututku 2 ekor? Kok, tak ada dalam sangkarnya. Kalian tahu, itu burung perkutut andalanku”, katanya tegas.

Seorang anaknya cepat-cepat menjawab. “Perkutut itu sudah saya kasi pak Ismail, dia lewat tadi, dia bilang suka lihat dengan burung perkutut itu”, katanya.

Sang ustadz berkata, “kenapa kamu kasi, itu burung perkutut kesayanganku”. Dengan ringkas, putri sang ustadz itu bilang, “bukankah bapak berceramah dimasjid tadi subuh, bahwa sedekahkanlah harta milikmu yang engkau sayangi”, katanya.

Dengan kecut, sang ustadz menjawab; “ceramah itu untuk ummat, bukan untuk kita”, ujarnya.

Begitulah, tantangan berat ustadz—dai adalah keteladanan.

Bisakah ia menjadi teladan bagi kata-katanya sendiri? Bisakah ia mengamalkan isi ceramahnya sendiri?(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved