Klakson
Bedug
Dengan penuh hiasan kemilau, bedug tak lebih sebagai tontonan, alat lomba, dan aksesoris musiman belaka disetiap akhir ramadan.
Padahal, sejak dulu bedug berdentum, disusul lantunan adzan mendayu-dayu diujung Mic pengeras suara.
Namun apa lacur, Orde baru punya kuasa, bedug pun pelan-pelan binasa. Dari sinilah, bedug pelan-pelan dikeluarkan dari masjid.
Sumbangan warga untuk masjid pun sebagian dialihkan untuk membeli pengeras suara dikota. Dimasjid dan musolah di kampung saya, bedug menjadi langka.
Padahal, dulu tiada masjid tanpa bedug. Bedug menjadi bagian dari masjid. Bedug menjadi bagian dari ummat. Bedug adalah indentitas warga.
Dan bedug kian tak ada tempat di masjid seiring maraknya paham-paham keagamaan modernis-kanan menggelayuti nalar ummat. Bila Orde baru menganggapnya “non-Islami”, kini bedug dianggap “bid’ah”.
Dianggap membahayakan aqidah. Karena itu, tak boleh ada. Padahal, Masjid tertua di Sulsel, Masjid Katangka yang dibangun pada masa Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabbia (Sultan Alauddin) tahun 1603 silam—juga memiliki bedug. Bedug menjadi saksi persebaran Islam saat itu.
Tetapi sudahlah, bedug kini telah lenyap dari masjid. Ia sekali dimunculkan disetiap penghujung ramadan—saat festival atau parade “takbir keliling” yang sering diperlombakan pemerintah.
Bedug yang diarak keliling itu ditabuh anak muda remaja masjid. Dengan penuh hiasan kemilau, bedug tak lebih sebagai tontonan, alat lomba, dan aksesoris musiman belaka disetiap akhir ramadan. Nilai-nilai sakralitas bedug tak ada disitu.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.