Klakson
Bedug
Dengan penuh hiasan kemilau, bedug tak lebih sebagai tontonan, alat lomba, dan aksesoris musiman belaka disetiap akhir ramadan.
Oleh:
Abdul Karim
Ketua Dewas LAPAR Sulsel
Anggota Majelis Demokrasi dan Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Ramadan mengingatkan kita pada sebuah produk kebudayaan yang mulai lapuk, yakni bedug. Di era 1980-an silam, beduk menjadi sebuah produk budaya—agama yang punya nilai tersendiri.
Konon, bedug pertama kalinya dibawa oleh Laksamana Cheng Ho, delegasi Maharaja Ming yang juga pemeluk Islam. Usai masa Cheng Ho, bedug tertancap menjadi salah satu alat kebudayaan—agama di negeri ini.
Di kampung saya yang jauh disana, bedug ditabuh jelang ramadan tiba. Penabuhnya adalah takmir mesjid yang tak tergantikan.
Bedug itu diletakkan di posisi belakang dalam masjid yang digantung dengan kawat besi kuat. Kurang lebih 1,5 meter jaraknya dari lantai masjid.
Bedug itu terbuat dari kayu besar yang dilubangi. Kedua ujungnya ditutup dengan kulit kerbau kering yang berfungsi sebagai selaput gendang. Kayu penabuhnya adalah kayu jambu biji kering.
Bila dipukul, bedug itu menimbulkan suara berat, bernada khas, rendah, tetapi dapat terdengar sampai jarak yang cukup jauh.
Saat waktu sholat tiba, bedug itu ditabuh sesuai jumlah rakaat sholat. Bila subuh misalnya, bedug itu ditabuh 2x sebagaimana bilangan rakaat sholat subuh. Bila Ashar maka ditabuhnya 4x, atau magrib, bedug ditabuh sebanyak 3x, dan seterusnya.
Itu menunjukkan bahwa bedug itu sebagai petanda waktu sholat.
Selain dalam waktu-waktu sholat, bedug itu juga ditabuh saat ada bencana kebakaran. Ia sebagai alarm kebakaran.
Ini menandakan bahwa bedug punya fungsi sosial; ditabuh untuk membunyikan solidaritas sosial warga untuk segera berbondong memadamkan api. Dan terbukti, api yang berkobar padam tanpa mobilisasi awak pemadam kebakaran pemerintah.
Dengan demikian, ikatan sosial antara warga dan bedug itu cukup erat. Ia bukan sekedar ornamen kebudayaan warga kampung. Tetapi juga sebagai ornamen sosial keagamaan yang terus diperlukan.
Bedug berfungsi sebagai alat komunikasi atau petanda kegiatan masyarakat, mulai dari ibadah, petanda bahaya, hingga petanda berkumpulnya sebuah komunitas. Makanya, bedug dikampung kami saat itu menjadi penting.
Dimalam lebaran, bedug ditabuh bertubi-tubi sebagai pertanda lebaran esok segera tiba. Suaranya yang berdentum seolah sejalan dengan keharuman Buras yang dimasak dengan kayu bakar disamping rumah. Bedug menjadi penting.
Namun, saat Orde baru berjaya bedug menjadi genting. Ia pernah dikeluarkan dari surau dan masjid karena dianggap mengandung unsur-unsur non-Islami. Bedug lalu digantikan oleh pengeras suara modern dengan segala merek.
Padahal, sejak dulu bedug berdentum, disusul lantunan adzan mendayu-dayu diujung Mic pengeras suara.
Namun apa lacur, Orde baru punya kuasa, bedug pun pelan-pelan binasa. Dari sinilah, bedug pelan-pelan dikeluarkan dari masjid.
Sumbangan warga untuk masjid pun sebagian dialihkan untuk membeli pengeras suara dikota. Dimasjid dan musolah di kampung saya, bedug menjadi langka.
Padahal, dulu tiada masjid tanpa bedug. Bedug menjadi bagian dari masjid. Bedug menjadi bagian dari ummat. Bedug adalah indentitas warga.
Dan bedug kian tak ada tempat di masjid seiring maraknya paham-paham keagamaan modernis-kanan menggelayuti nalar ummat. Bila Orde baru menganggapnya “non-Islami”, kini bedug dianggap “bid’ah”.
Dianggap membahayakan aqidah. Karena itu, tak boleh ada. Padahal, Masjid tertua di Sulsel, Masjid Katangka yang dibangun pada masa Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabbia (Sultan Alauddin) tahun 1603 silam—juga memiliki bedug. Bedug menjadi saksi persebaran Islam saat itu.
Tetapi sudahlah, bedug kini telah lenyap dari masjid. Ia sekali dimunculkan disetiap penghujung ramadan—saat festival atau parade “takbir keliling” yang sering diperlombakan pemerintah.
Bedug yang diarak keliling itu ditabuh anak muda remaja masjid. Dengan penuh hiasan kemilau, bedug tak lebih sebagai tontonan, alat lomba, dan aksesoris musiman belaka disetiap akhir ramadan. Nilai-nilai sakralitas bedug tak ada disitu.(*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/abdul-karim-majelis-demokrasi-humaniora.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.