Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ayah Cabuli Putrinya

Lima Tuntutan Asosiasi LBH APIK Soal Kasus Dugaan Ayah Rudapaksa Anak di Lutim

Mabes Polri menurunkan tim audit atas kinerja Polres Luwu Timur dan menyampaikan siap mengusut kembali kasus tersebut.

Penulis: Ivan Ismar | Editor: Suryana Anas
Tangkapan Layar/https://projectmultatuli.org/
Screenshot postingan 'Tiga Anak Saya Diperkosa'/Tangkapan Layar/https://projectmultatuli.org/ 

Berdasarkan rilis dari kuasa hukum korban bahwa ada beberapa alat  bukti yang diabaikan, diantaranya hasil visum et psikatrikum (VeP) dimana masing-masing korban telah menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Terlapor.

VeP merupakan alat bukti yang sah yang tidak dapat diabaikan apabila merujuk pada Pasal 184 ayat (1) huruf c jo Pasal 187 huruf c KUHAP, yang menyatakan bahwa surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

Keterangan dari petugas P2TP2A yang bukan bagian dari psikatri dalam kasus ini tidak semestinya masuk dalam VeP, apalagi bertentangan dengan pernyataan korban.

Selain itu, dugaan kekerasan seksual juga terdapat diagnosa dokter Puskesmas Malili bahwa terdapat kerusakan pada bagian anus dan vagina.

Selanjutnya, selain VeP, surat keterangan psikolog selama ini seringkali tidak dijadikan alat bukti sedangkan banyak kasus kekerasan seksual dimana trauma korban belum menunjukkan masalah psikiatris. 

Pemeriksaan psikologis tidak mensyaratkan adanya gejala/masalah psikiatris sehingga dapat menjadi salah satu alat bukti penting dalam kasus kekerasan seksual. Penggunaan alat bukti ini pada dasarnya sudah dipraktekkan namun belum merata di semua kepolisian. 

Selain itu, kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kepada anak-anaknya tesebut juga merupakan tindak pidana yang termuat dalam UU No. 23 than 2004 tentang KDRT.

Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana, yang dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah.

Dalam Pasal 55 UU KDRT, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Maka dari itu dilihat alat bukti telah cukup untuk menindaklanjuti  proses hukum kasus ini.

Karena itu, Mabes Polri perlu memastikan proses hukum kasus di Luwu Timur di buka 
kembali tanpa harus menunggu alat bukti baru. Polda Sulawesi Selatan perlu terlibat, atau dapat mengambil alih kasus tersebut dan memastikan bahwa proses hukum yang adil dalam kasus ini.

Kelima, urgensi segera disahkan RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Bercermin dari kedua kasus ini, dan banyak kasus kekerasan seksual lainnya  termasuk yang ditangani sehari-hari oleh Kantor-kantor LBH APIK.

Maka payung hukum yang mengakomodasi perspektif korban dalam sistem pembuktian dan proses penanganan kasus sangat urgen untuk segera disahkan.

Olehnya itu,  RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam statmen LBH APIK, sudah jelas sangat dibutuhkan.

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved