Ayah Cabuli Putrinya
Lima Tuntutan Asosiasi LBH APIK Soal Kasus Dugaan Ayah Rudapaksa Anak di Lutim
Mabes Polri menurunkan tim audit atas kinerja Polres Luwu Timur dan menyampaikan siap mengusut kembali kasus tersebut.
Penulis: Ivan Ismar | Editor: Suryana Anas
LBH APIK pun memberikan beberapa catatan sekaligus tuntutan yang pertama, perspektif korban dan pengaruh relasi kuasa harus diperhatikan dalam proses penanganan
kasus. Adanya relasi kuasa antara terduga pelaku yang merupakan ayah kandung dengan anaknya semestinya menjadi perhatian serius.
Dalam kasus Luwu Timur, baik P2TP2A Luwu Timur maupun dalam proses penyidikan oleh kepolisian sangat tidak tepat melakukan generalisasi mengenai tampilan korban yang tidak terlihat trauma, atau tidak kelihatan ada rasa takut digunakan sebagai pijakan bahwa kekerasan seksual tidak terjadi.
Korban adalah anak yang belum tentu dapat menunjukkan ekspresinya kepada orang lain mengenai kekerasan yang pernah dialami.
Selain itu, anak belum tentu memahami apa yang dilakukan oleh terduga pelaku adalah bentuk kekerasan seksual sehingga tidak menunjukkan sikap melawan atau takut. Terlebih terduga adalah orang orang tuanya sendiri.
Kedua, perlindungan saksi dan korban kekerasan harus diutamakan proses konfrontir dengan mempertemukan antara korban dengan pelaku saat pertama kali pelapor meminta perlindungan kepada P2TP2A Luwu Timur merupakan pelanggaran terhadap perlindungan anak.
Proses penanganan kasus ini juga telah mengabaikan kerahasiaan Anak sebagai korban dengan tersebarnya identitasnya ke masyarakat.
Anak sebagai korban berhak atas masa depan yang bebas dari trauma kekerasan seksual yang dialaminya, sesuai dengan mandat UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2) menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Maka disebutkan, adanya penyebaran identitas korban merupakan pelanggaran hak anak yang fatal dan menimbulkan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembang korban karena rentan mengalami stigma serta trauma berulang.
Selain korban, saksi dari kedua kasus tersebut juga mendapat stigma negatif dengan menyebut kelainan jiwa atau memiliki kebencian terhadap terduga pelaku.
Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga perlu lebih pro aktif melaksanakan mandat dalam perlindungan korban terutama di daerah-daerah.
Ketiga, pemulihan anak sebagai korban harus dipenuhi oleh negara dengan akses yang mudah dan memadai pemenuhan hak anak, untuk memperoleh dukungan dalam tumbuh kembang salah dalam konteks korban kekerasan seksual salah satunya adalah dukungan pemulihan psikologis.
Namun pemenuhan hak ini dalam kasus tersebut masih sulit diperoleh oleh korban karena minimnya layanan yang tersedia di Luwu Timur.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kab. Luwu Timur perlu segera menyusun kebijakan yang memuat anggaran dan program untuk Layanan dukungan pemulihan psikologis bagi korban.
Keempat dalam statmennya, kasus harus segera dibuka kembali tanpa perlu menunggu alat bukti baru.
Sebab, dalam kasus di Luwu Timur, alat bukti yang telah ada perlu diperdalam dan dipergunakan untuk membuka kembali kasus ini.