Ayah Cabuli Putrinya
Lima Tuntutan Asosiasi LBH APIK Soal Kasus Dugaan Ayah Rudapaksa Anak di Lutim
Mabes Polri menurunkan tim audit atas kinerja Polres Luwu Timur dan menyampaikan siap mengusut kembali kasus tersebut.
Penulis: Ivan Ismar | Editor: Suryana Anas
TRIBUNLUTIM.COM, MALILI - Kasus kekerasan seksual diduga dilakukan ayah kandung kepada tiga anaknya menjadi perhatian publik.
Itu setelah Polres Luwu Timur menghentikan proses penanganan perkaranya karena dinyatakan kurang cukup bukti.
Dugaan rudapaksa tiga anak bawah umur mencuat pasca RS melaporkan mantan suaminya, SA ke Polres Luwu Timur pada Rabu (9/10/2019).
RS melaporkan SA telah memrudapksa anak kandungnya sendiri masing-masing berinisial AL (8), MR (6) dan AS (4).
Belakangan, kasus 2019 ini viral setelah ramai dibagikan di akun media sosial setelah berstatus SP3.
Mabes Polri pun dalam pernyataannya telah menurunkan tim audit atas kinerja Polres Luwu Timur dan menyampaikan siap mengusut kembali kasus tersebut.
Namun menunggu bukti baru.
Menunggu alat bukti baru akan menjadi persoalan, karena bila ditilik lebih jauh dalam kasus ini semestinya dapat menggunakan dan memperkuat alat bukti yang telah ada.
Selain kasus tersebut, baru-baru ini Mahkamah Syariah Aceh memutus bebas seorang ayah yang melakukan perkosaan terhadap anaknya dengan menyimpulkan hasil visum tidak menjadi alat bukti yang cukup.
Kedua kasus tersebut merupakan cerminan dari banyaknya kasus-kasus lain mengenai fakta rumitnya proses penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Alat bukti dalam proses hukum kekerasan seksual menjadi hambatan sehingga kasus-kasus terhenti karena masih belum secara khusus mengakomodasi perspektif dan pengalaman korban kekerasan seksual.
Asosiasi LBH APIK Indonesia bersama 16 kantor LBH APIK dalam siaran persnya diterima Rabu (13/10/2021) malam terkait "Darurat Pespektif Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual dalam Penanganan Kasus, Hambatan Nyata Keadilan”
LBH APIK mencatat minimnya perspektif keberpihakan pada korban dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual baik dari ketiga kasus tersebut maupun dari pengalaman LBH APIK.
Yaitu dalam penanganan kasus, telah menjadi salah satu faktor penghambat yang serius dalam terpenuhinya hak atas perlindungan dan keadilan bagi korban.
Terlebih lagi, dalam kedua kasus tersebut, korban adalah anak yang secara jelas perlindungnnya dalam proses hukum dalam UU No 23 tahun 2002 beserta perubahannnya dalam UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Perlindungan Anak (SPPA).
LBH APIK pun memberikan beberapa catatan sekaligus tuntutan yang pertama, perspektif korban dan pengaruh relasi kuasa harus diperhatikan dalam proses penanganan
kasus. Adanya relasi kuasa antara terduga pelaku yang merupakan ayah kandung dengan anaknya semestinya menjadi perhatian serius.
Dalam kasus Luwu Timur, baik P2TP2A Luwu Timur maupun dalam proses penyidikan oleh kepolisian sangat tidak tepat melakukan generalisasi mengenai tampilan korban yang tidak terlihat trauma, atau tidak kelihatan ada rasa takut digunakan sebagai pijakan bahwa kekerasan seksual tidak terjadi.
Korban adalah anak yang belum tentu dapat menunjukkan ekspresinya kepada orang lain mengenai kekerasan yang pernah dialami.
Selain itu, anak belum tentu memahami apa yang dilakukan oleh terduga pelaku adalah bentuk kekerasan seksual sehingga tidak menunjukkan sikap melawan atau takut. Terlebih terduga adalah orang orang tuanya sendiri.
Kedua, perlindungan saksi dan korban kekerasan harus diutamakan proses konfrontir dengan mempertemukan antara korban dengan pelaku saat pertama kali pelapor meminta perlindungan kepada P2TP2A Luwu Timur merupakan pelanggaran terhadap perlindungan anak.
Proses penanganan kasus ini juga telah mengabaikan kerahasiaan Anak sebagai korban dengan tersebarnya identitasnya ke masyarakat.
Anak sebagai korban berhak atas masa depan yang bebas dari trauma kekerasan seksual yang dialaminya, sesuai dengan mandat UUD 1945 Pasal 28B Ayat (2) menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Maka disebutkan, adanya penyebaran identitas korban merupakan pelanggaran hak anak yang fatal dan menimbulkan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembang korban karena rentan mengalami stigma serta trauma berulang.
Selain korban, saksi dari kedua kasus tersebut juga mendapat stigma negatif dengan menyebut kelainan jiwa atau memiliki kebencian terhadap terduga pelaku.
Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga perlu lebih pro aktif melaksanakan mandat dalam perlindungan korban terutama di daerah-daerah.
Ketiga, pemulihan anak sebagai korban harus dipenuhi oleh negara dengan akses yang mudah dan memadai pemenuhan hak anak, untuk memperoleh dukungan dalam tumbuh kembang salah dalam konteks korban kekerasan seksual salah satunya adalah dukungan pemulihan psikologis.
Namun pemenuhan hak ini dalam kasus tersebut masih sulit diperoleh oleh korban karena minimnya layanan yang tersedia di Luwu Timur.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah Kab. Luwu Timur perlu segera menyusun kebijakan yang memuat anggaran dan program untuk Layanan dukungan pemulihan psikologis bagi korban.
Keempat dalam statmennya, kasus harus segera dibuka kembali tanpa perlu menunggu alat bukti baru.
Sebab, dalam kasus di Luwu Timur, alat bukti yang telah ada perlu diperdalam dan dipergunakan untuk membuka kembali kasus ini.
Berdasarkan rilis dari kuasa hukum korban bahwa ada beberapa alat bukti yang diabaikan, diantaranya hasil visum et psikatrikum (VeP) dimana masing-masing korban telah menceritakan peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Terlapor.
VeP merupakan alat bukti yang sah yang tidak dapat diabaikan apabila merujuk pada Pasal 184 ayat (1) huruf c jo Pasal 187 huruf c KUHAP, yang menyatakan bahwa surat keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.
Keterangan dari petugas P2TP2A yang bukan bagian dari psikatri dalam kasus ini tidak semestinya masuk dalam VeP, apalagi bertentangan dengan pernyataan korban.
Selain itu, dugaan kekerasan seksual juga terdapat diagnosa dokter Puskesmas Malili bahwa terdapat kerusakan pada bagian anus dan vagina.
Selanjutnya, selain VeP, surat keterangan psikolog selama ini seringkali tidak dijadikan alat bukti sedangkan banyak kasus kekerasan seksual dimana trauma korban belum menunjukkan masalah psikiatris.
Pemeriksaan psikologis tidak mensyaratkan adanya gejala/masalah psikiatris sehingga dapat menjadi salah satu alat bukti penting dalam kasus kekerasan seksual. Penggunaan alat bukti ini pada dasarnya sudah dipraktekkan namun belum merata di semua kepolisian.
Selain itu, kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kepada anak-anaknya tesebut juga merupakan tindak pidana yang termuat dalam UU No. 23 than 2004 tentang KDRT.
Dalam Pasal 8 disebutkan bahwa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana, yang dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah.
Dalam Pasal 55 UU KDRT, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Maka dari itu dilihat alat bukti telah cukup untuk menindaklanjuti proses hukum kasus ini.
Karena itu, Mabes Polri perlu memastikan proses hukum kasus di Luwu Timur di buka
kembali tanpa harus menunggu alat bukti baru. Polda Sulawesi Selatan perlu terlibat, atau dapat mengambil alih kasus tersebut dan memastikan bahwa proses hukum yang adil dalam kasus ini.
Kelima, urgensi segera disahkan RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Bercermin dari kedua kasus ini, dan banyak kasus kekerasan seksual lainnya termasuk yang ditangani sehari-hari oleh Kantor-kantor LBH APIK.
Maka payung hukum yang mengakomodasi perspektif korban dalam sistem pembuktian dan proses penanganan kasus sangat urgen untuk segera disahkan.
Olehnya itu, RUU Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam statmen LBH APIK, sudah jelas sangat dibutuhkan.