Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kolom Ahmad M Sewang

Tiga Kompetensi yang Perlu Dimiliki Alumni UIN

Di sinilah manusia perlu saling sharing sambil tawadu atas keterbatasan kemampuan masing-masing. Tidak perlu merasa sombong atas ilmu yang terbatas.

Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN TIMUR/DESI TRIANA ASWAN
Prof Dr Ahmad M Sewang MA 

Keterbatasan Seharusnya Membawa Pada Sikap Tawadu (2)

Oleh: Ahmad M Sewang
Guru Besar UIN Alauddin Makassar dan Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Masjid Mubalig Indonesia Muttahidad (IMMIM)

Perkembangan pengetahuan akhir-akhir ini, semakin mengarah ke bidang spesialis.

Demikian halnya ilmu pengetahuan Islam mengalami perkembangan semakin mengarah ke penguasaan pada bidang konsentrasi ditekuni.

Seorang ilmuwan muslim tidak lagi memungkinkan ahli dalam semua bidang keilmuan Islam yang luas.

Tuntutan zaman, menghendaki seseorang hanya bisa ahli dalam satu bidang keilmuan, seperti fikih, pemikiran, sejarah, tafsir, hadis, bahasa dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Demikian itulah yang sedang terjadi di Universitas Islam. Keilmuan Islam dibagi ke dalam 4 atau 5 fakultas.

Setiap fakultas dibagi lagi ke dalam beberapa program studi (prodi) dan setiap prodi terbagi lagi dalam beberapa konsentrasi.

Beda dengan ilmuwan masa lalu, seperti Imam al-Gazali, dikenal ulama yang all round.

Sebelum SKB Wajib Isolasi 14 Hari, BKD Sulsel: Peserta Bebas Pilih Lokasi

Elitis Kluster Kantor vs Transmisi Lokal Covid-19, Makassar Waspada!

Ia ahli dalam berbagai bidang keilmuan Islam disebabkan pembidangan masih terbatas. Juga tidak banyak problem di zamannya yang bisa menyita perhatian.

Berbeda halnya sekarang, pembidangan ilmu agama Islam semakin banyak dan mengerujut.

Tulisan ini sekaligus menghapus image dalam masyarakat muslim awan yang beranggapan, semua alummni UIN serba bisa.

Semua menguasai ilmu tafsir al-Quran. Sementara prodi tafsir hanya terdapat di salah satu dari 5 fakultas agama yaitu Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin.

Jika demikian, apa yang perlu dilakukan sekarang dalam menjawab tuntutan zaman?

Menurut pengamatan penulis terdapat tiga kompetensi yang perlu dimiliki seorang alumni UIN, yaitu:

1. Seorang alumni UIN memiliki kompetensi dengan menguasai bidang studi yang ditekuninya.

Dengan demikian perlu memperpanjang waktu studinya. Tidak lagi cukup pendidikan S1.

Tetapi perlu lanjut memperdalam bidang konsentrasinya ke S2 dan S3.

Karena itu, sebuah universitas yang baik adalah 40% dari seluruh populasi mahasiswa sebuah universitas berada di Program Pascasarjana.

2. Alumni UIN memiliki kompetensi berupa wawasan luas, di samping menguasai bidang keahliannya.

Tafsir Alquran misalnya. Juga banyak belajar dan memperluas wawasannya tentang bidang ilmu keislaman lainnya.

3. Terdapat tuntutan baru bagi alumni yaitu kompetensi berupa integrasi keilmuan yaitu memiliki wawasan pengetahuan umun.

Tuntutan itu berupa integrasi keilmuan, yaitu memberi wawasan umum pada keahliannya.

5 Kontroversi Hadi Pranoto yang Klaim Temukan Obat Covid-19, Achmad Yurianto: ini Pembodohan

FOTO: Berakhir Pekan di Hutan Mangrove Lantebung Makassar

Misalnya seorang ahli tafsir, ia dituntut bisa bicara tentang ilmu umum yang bersentuhan dengan bidang spesialisasinya.

Seperti, "Bagaimana pandangan Alquran tentang asal penciptaan manusia?" Yang bersinggungan Teori Darwin, misalnya.

Tuntutan integrasi keilmuan muncul, sebagai janji pada negara ketika alih status dari STAIN dan IAIN ke Universitas Islam Negeri.

Walau semakin berat tuntutan itu, tetapi penulis tetap percaya akan bisa tercapai.

Asalkan bersungguh-sungguh yang dimulai dari dosen dan seluruh civitas akademika.

Memang, kelihatan semakin menantang tuntutan ini bagi alumni.

Sementara di satu sisi dituntut harus semakin profesional, di sisi lain perlu memiliki wawasan luas.

Belum lagi tuntutan baru tentang integrasi keilmuan pada ilmu yang bersentuhan dengan bidang keahliannya.

Untuk menjawab tuntutan-tuntutan di atas, maka alumni harus well in formed dan semakin tekun belajar sepanjang hidup dan tidak mengenal halte.

Nantilah berhenti belajar jika ajal datang menjemput.

Dilihat dari segi keilmuan, bagi seseorang yang mengambil konsentrasi di bidang fikih Syafii misalnya, maka ia dituntut memperluas wawasan fikihnya pada mazhab-mazhab lainnya, seperti Maliki, Hanafi, dan Hambali, serta mazhab lainnya yang juga notabene mereka adalah muslim.

Belum termasuk fikih Imamiah dari mazhab Syiah.

Makassar Sudah Bisa New Normal, Satpol PP Tetap Lakukan Pengawasan

Petani Mahalona Luwu Timur Minta Perbaikan Pengairan dan Tambahan Alat Panen

Dalam perspektif ke depan untuk memahami fikih mazhab lain akan semakin terbuka lebar sejalan dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin memudahkan.

Ke depan seorang fakih akan dengan mudah mendapatkan akses dalam memahami mazhab lain.

Dalam hubungan ini, Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. K.H.Nasaruddin Umar, M.A. ketika diundang ke DPP IMMIM dalam sebuah seminar, beliau membuat statement menarik untuk disimak.

"Umat sekarang sedang berangkat dari satu mazhab menuju ke multi mazhab."

Pernyataan beliau, penulis artikan dan garisbawahi bahwa seorang ahli fikih dari satu mazab tertentu, sekaligus harus memperluas wawasan fikihnya dengan mazhab-mazhab lainnya.

Sekaligus melakukan integrasi ilmunya dengan kehidupan modern, seperti bidang transaksi keuangan modern, seperti reksa dana, bursa saham, transaksi on lain dan seterusnya.

Jadi seorang fakih ke depan yang memiliki wawasan luas akan lebih arif memahami perbedaan.

Sebab dia mengerti fikih adalah pemahaman dan pemahaman setiap fakih pasti akan melahirkan perbedaan.

Akhirnya, perlu pula dikemukakan bahwa terdapat bidang keilmuan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu yang ditekuni. Ilmu itu seakan berdiri-sendiri.

Di sinilah, bisa membawa pada kesadaran sebagai seorang ahli yang profesional akan semakin menyadari keterbatasannya untuk menjangkau semua kalimat-kalimat Tuhan yang tak terbatas.

Seperti ungkapan seorang ahli hikmah, كلما زادنى علما زدنى فهما بحهلى (Setiap bertambah ilmuku, terasa semakin bertambah pahan kebodohanku).

Ungkapan tersebut, penulis dikiriman oleh dosen al-Raniri Banda Aceh, Mursyid Jawas, setelah membaca seri 1 tulisan ini Kamis lalu.

Ala kulli hal, tulisan ini akan ditutup dengan pengalaman riil yang menarik dari seorang mubalig, Ustaz Amrullah Amri, dalam sebuah peringatan Maulid Nabi saw.

Beliau bersentuhan dengan ilmu atau ketrampilan yang sama sekali di luar bidang keilmuannya.

Beliau memberi contoh yang sangat baik ketika melakukan safari dakwah ke Bulukumba dengan naik mobil.

Di Jeneponto mobilnya mogok dan ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghidupkan kembali mobilnya, sekalipun pengetahuan dakwahnya lumayan luas.

Di tengah kesulitan itu, tiba-tiba saja ada pengendara mobik yang menghentikan kendaraannya dan menawarkan bantuan.

Tentu saja Ustaz Amri berterima kasih. Kemudian pengemudi itu pergi dan kembali dengan membawa montir yang tuna netra.

Si montir minta kunci kontaknya dan mencoba untuk menghidupkan mesin mobil itu. Setelah

mendengar bunyi mobil itu, sang mortir langsung memastikan penyabab mesin tidak bisa hidup yaitu platinanya yang kotor.

“Ambilkan kunci 14,” perintah pada temannya.

Temannya kemudian memberi kunci 12, si tuna netra berkata, “Bukan kunci ini yang saya minta.”

Setelah platinanya dibuka dan dibersihkan dengan mudah mobil itu dihidupkan.

Ustaz Amri mengomentari pengalamannya itu, “Inilah contoh, betapa setiap manusia, buta sekalipun, memiliki kelebihan sekaligus keterbatasan.”

Di sinilah manusia perlu saling sharing sambil tawadu atas keterbatasan kemampuan masing-masing.

Tidak perlu merasa sombong atas ilmu yang terbatas dimilikinya.

Wassalam,

Makassar, 3 Agustus 2020

Hingga 2 Agustus, Pemilih Pindah Domisili Sampai 45 Ribu, 26 Ribu Meninggal

Berkas Anggota DPRD Makassar Tersangka Penjamin Jenazah Covid Sudah di Kejaksaan

Idul Adha di Tengah Pandemi Corona, Antara Rusia dan Indonesia

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved